-->

Minggu, 10 Juli 2016

Antara Davi, Rena, dan Sebuah Tanda Tanya (Part 1)




Awalnya semua terasa berjalan semestinya. Dimulai dari sebuah pertanyaan singkat tentang seorang teman lama berbeda gender yang menanyakan suatu wilayah di kota yang ditempati oleh Davi, seorang lelaki yang sedang merintis menuju sebuah kesukesan dalam hidupnya. Davi menjawab pertanyaan dari WhatsApp itu dengan petunjuk yang sangat jelas. Merasa si teman lama itu telah mendapat gambaran yang dituju, maka pertanyaan lainnya adalah menanyakan kabar.

Teman lama itu bernama Rena. Wanita yang lebih muda 4 tahun dari Davi yang berasal dari Semarang. Davi dan Rena bisa terhubung karena keduanya sama-sama suka terhadap selera musik. Keduanya baru pertama kali bertemu dalam rentang waktu yang terlampau jauh, 4 tahun yang lalu. Karena itulah, saat sebuah kesempatan muncul, Davi dan Rena akhirnya sepakat memilih tanggal untuk bertemu. Manjaga tali silaturahmi tetap terjalin merupakan alasan keduanya menyepakati sebuah pertemuan kedua setelah terpaut 4 tahun lamanya.

**

Suasana di sebuah cafe di bilangan Grogol, Jakarta Barat, sedang sibuk-sibuknya. Pasalnya, dalam waktu dekat adzan Maghrib akan berkumandang. Hampir semua tempat makan ramai oleh orang-orang yang akan berbuka puasa. Terlihat beberapa meja dengan tulisan ‘reserved’ dan orang-orang dalam jumlah besar berkumpul dalam satu wilayah dengan banyak dan beragamnya aktivitas yang mereka lakukan; chit-chat, foto-foto, atau sibuk dengan gadgednya masing-masing. Riuh suara tawa juga tidak pelak menjadi menggema di ruangan itu.

Davi dan Rena duduk di tengah-tengah. Rena yang datang menggunakan blues berwarna peach dengan dalaman berwarna hitam, menunjukkan pakaian kerja sehari-hari. Sama dengan yang ia kenakan pada photo profile di akun WhatsApp miliknya. Davi, memakai pakaian koko warna putih dengan celana denim yang menjadi pasangannya dan sebuah tas berisi seragam kerja yang dicopotnya untuk kemudian diganti dengan koko yang ia kenakan sekarang.

Setelah pesanan yang dipesan datang, keduanya memulai interaksi dan berkomunikasi.

“Jadi, gimana kabarnya?” Davi membuka obrolan.
“Banyak hal berubah sejak pertama dan terakhir kali kita bertemu. Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Bohong kalau selama itu lo gak punya cerita yang seru.”

Rena yang tampak asik menyimak setiap perkataan Davi kemudian menyeka poninya dan melontarkan senyumannya. Tak sabar untuk bercerita.

“Empat tahun yah... “ Matanya melirik ke atas, mecoba mencari ruang tentang ingatannya tentang pertemuan itu.

“Udah lama juga yah. Mau cerita yang mana dulu nih?” Rena balik bertanya.
“Mulai dari kerjaan dulu deh. Kok bisa sih jadi di Jakarta?” Davi menimpali.
“Sebenernya gw tuh gak ngeduga juga sih. Yang tadinya liburan ngabisisn masa cuti dari kerjaan di Semarang, maenlah gw ke Jakarta. Gak taunya pas lagi nyoba ngelamar, eh ada panggilan. Terus pas project-nya selesai ternyata nyambung lagi ke project lainnya. Akhirnya yah makin lama deh di Jakarta ini.”
“But you enjoy, right?”
“Not really. I never go to somewhere good places here. Kudet banget gw.” Rena tertawa.
“Ah masa sih? Padahal kan Jakarta gak gede-gede amat.”
“Gw kan gak ada motor kak. Lagian gak ada yang ngajak juga sih.”
“Kalau gitu gw ajak lo ke mana argo ini melangkah yah. Kita susuri Jakarta malam hari.”
“Sip. Terserah pokoknya ke mana aja. Gw ikut aja kak.”

Tak terasa obrolan mereka mengantarkan kepada waktu berbuka puasa. Davi, Rena, dan orang-orang yang ada di cafe itu mulai menyantap hidangannya. Seiring dengan jatuhnya Jakarta pada malam hari bersama bulan yang semakin pucat dan gema adzan berkumandang sahut-sahutan dari masjid yang berada di sekitar cafe terebut. Betapa khidmat suasana itu.

**

Hujan memang sudah diduga akan tumpah. Pasalnya sore itu terlihat awan mendung mulai akrab di langit. Namun yang tak diduga adalah intensitas hujan yang begitu besar dengan durasi yang lama. Hujan yang membawa obrolan Davi dan Rena semakin jauh melintasi berbagai ruang dan waktu. Membicarakan teman-teman terdahulu, sampai pengalaman kisah horor dari Rena yang gemar dengan hal-hal mistis. Malam menjadi milik berdua bersama hujan yang perlahan mereda.

**

“Hujannya udah reda tuh. Yuk cabut.” Kata Davi mulai memimpin.

Keduanya membereskan barang bawaan,meminum setenggak terakhir es kelapa yang sudah berasa tawar akibat es cair yang mencair. Setelah melakukan pembayaran, keduanya meninggalkan ruangan.

“Yah.. Helm gw basah....” Nada kecewa Rena keluar dibarengi dengan raut muka yang terlihat sebal.
“Mau pakai topi gw? Biar gak langsung kena rambut lo.”
“Gak usah deh. Gak apa apa. Sekarang kita ke mana nih?”
“Kita ke luar dulu aja. Ayo cepet naek.”

Yang diiminta segera naik motor. Kendaraan milik Davi yang telah dipakainya sejak tahun 2010 itu melaju pelan meninggalkan cafe barusan. Bersama dinginnya malam pasca hujan dan petrichore yang bercampur dengan polusi di Jakarta, keduanya menuju arah jalan besar yang sayangnya ada genangan air yang begitu besar.

“Anjrit, dalem banget nih.” Davi terlihat kegirangan dan cemas sekaligus.
“Ha ha ha ha. Yakin nih kak kita mau terjang aja nih banjir?”
“Gak ah. Bahaya. Kita puter balik lagi aja.”

Apotik di pinggir jalan yang memiliki area parkir lebih tinggi dari jalan yang banjir itu menjadi tumpuan Davi untuk memutar balik. Tak perlu waktu lama, motor itu telah keluar dari genangan air setinggi lebih dari 30 cm itu.

“Untung kita gak maksaain yah Ren. Kebayang gak sih kalo mogok di tengah jalan.”
“Ha ha ha. Iya kak. Sorry yah. Gw sih demen banget maen air. Makanya agak penasaran juga sih.”
“Yaudah nanti kita maen ujan-ujanan aja kalo lo mau.”
“Yah gak gitu juga kak. Terus kita mau ke mana nih?”
“Hm.. Kita liat Monas aja yuk?”
“Ahhhh... Monas? Ayo.”
“Buset, seneng banget kayaknya.”
“Kan udah gw bilang kak gw jarang ke mana-mana selama di sini.”
“Kasian sekali. Yaudah sambil cerita aja. Noh lo lit jalanan macet gara-gara hujan tadi.”
“Ini Roxy yah? Emang kita ke arah mana kak?”
“Yang sebelah kanan kita iya betul itu Roxy. Kita ini lagi ke arah Harmoni. Eh iya, lo masih pacaran sama cowok lo yang waktu itu?”
“Yaampun masih inget aja kak. Gw udahan sama dia.”
“Loh, why?”

“Entahlah. Kayaknya dia emang gak kuat sama yang namanya LDR”
“Apaan tuh LDR? Lelah Dalam Ragu?”
“Ha ha ha ha. Ihh... Bukan kak. Long Distance Relationship. Pacaran jarak jauh.”
“Lah salah dong gw. Terus terus terus?”
“Iya kak. Emang kayaknya sih dia emang mau udahan. Pas gw samperin dia ke Bandung gitu abis itu gak ada kabar. Udahan kayaknya jadi yang terbaik buat kita berdua.”
“Itu mah lagi bosen aja kali. Udah berapa taun kalian hubungan?”
“Sekitar 3 tahun.”

“Lumayan lama. Gw rasa nanti kalian juga balikan. FTV banget.”
“Ha ha ha. Masa sih kak.”
“Biasanya sih gitu. Terus sekarang lagi sama siapa?”
“Lagi gak sama siapa-siapa. Paling tadi doang yang gw ceritain kak. Ada temen kantor yang suka nanyain gw. Tapi gw gak tertarik.”
“Kalau gitu lo punya kesempatan pacaran sama rockstar kalau lo mau.”
“Aih... Siapa tuh kak?”
“Yah gw. Siapa lagi.”
“Ha ha ha. Modus! Modus! Modus!”

Tawa Rena pecah. Antara senang dengan kaget akibat radical honestly berbau modus yang dilancarkan oleh Davi. Yang Rena tak sadar adalah tawanya membuat pengendara motor di sekitar yang sama-sama terjebak kemacetan menoleh ke arahnya.

**

Kemacetan sekitaran Roxy sudah berhasil dilewati. Kini kendaraan melaju menuju Harmony. Monas adalah tujuannya. Bising klakson dan deru mesin saling bersahutan. Tak sabar ingin melaju. Perempatan Harmoni memang perempatan besar yang melibatkan banyak kendaraan. Baik roda 2 maupun roda 4. Kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Dan ketika lampu itu menyala hijau. Davi dan Rena ikut melaju. Lurus.

“Kak, kayaknya kita salah jalur deh. Gak ada motor lain loh kak.”
“Oh my God. Serius? Coba liat lagi ke belakang?”
“Iya kak gak ada. Eh ada deh satu. Tapi kayaknya dia juga sama kayak kita kak. Salah jalur. Gimana nih?”
“Waduh. Gawat dong. Cari puteran balik deh.”

Keduanya dilanda kepanikan karena sudah pasti akan bertemu polisi lalu lintas di belakang sana. Hanya ada dua opsi. Mencari putaran arah, atau melaju secepat mungkin meninggalkan lokasi.

Sayangnya opsi pertama tidak terealisasi karena ketika akan melakukan putaran arah, ada kendaraan Transjakarta yang menghalangi kendaraan Davi untuk melakukan putar balik. Terpaksa opsi kedua dipilih dengan prediksi terburuk kena uang damai dengan Pak Polisi. Maka kendaraan dipacu dengan cepat.

Motor lain yang juga bernasib sama dengan Davi dan Rena ternyata lebih kencang lajunya. Bahkan sudah tak terlihat lagi dari pandangan mata. Namun berkat motor tadi, Davi dan Rena selamat dari dosa yang mereka perbuat. Pasalnya, motor yang melaju pertama itu sudah diberhentikan oleh polisi dan tak ada polisi lain. Sehingga dengan sangat nekad, Davi dan Rena meninggalkan petugas dan pengendara apes itu. Secepat mungkin kendaraan dipacu agar terhindar kalau-kalau ada petugas yang mengejar. Namun ternyata nasib baik masih menghampiri mereka.

“Kita dikejar gak Ren, coba liat ke belakang?”
“Alhamdulillah enggak kak. Gokil loh kak!” Rena tertawa karena adrenaline-nya terpacu dengan kejadian barusan.
“Mana tangan lo, nih lo pegang deh dada gw. Deg-degan gw. Sumpah, deg-degan banget gw.” Kata Davi sambil memegang tangan kiri Rena dan meletakannya di dadanya.
“Lo belum pernah ditilang yah kak?”
“Pernah sih, dua kali. Yang satu malah sampae nangis.”
“Kok nangis?”
“Iya, duit gw tinggal 20 ribu soalnya. Terus kesalahan gw juga gak fatal. Gak pake peringatan, langsung maen tilang. Biasalah, maenin psikologi korban. Terus ngajak damai kan korbannya. Yang amat disayangkan kenapa gak dikasih tau dulu yah. Toh gw juga kan salah karena gak tau. Udah gitu gw pikir dia ngelambaiin tangannya ke gw tuh nyuruh masuk lewat situ, ternyata disuruh setor duit.”

“Btw kita ke McD Sarinah aja yuk.”
“Ayo. Eh tau gak, aku tuh seumur-umur belum pernah ke McD tau.”
“Ah sama kok. Gw juga kalo lagi jalan sama orang aja.”

Kendaraan melaju menuju Sabang untuk kemudian ke Sarinah. Meninggalkan pengendara motor yang bernasib sial itu sedang menyelesaikan urusannya dengan petugas polisi di patung kuda, dekat Monas.

**

Bulan semakin pucat namun pemandangan Sarinah saat itu masih ramai, jika dilihat dari banyaknya motor yang terparkir. Membuat Davi kesulitan mencari tempat parkir yang memang terlampau kecil itu. Dengan sedikit usaha, dapatlah tempat parkir yang agak jauh dari tempat keluar.

Kini keduanya berjalan beriringan sambil memegang tangannya.  Sela-sela jari tangan kanan Rena begitu lekat dengan sela-sela tangan kiri Davi. Berjalan menuju tempat yang dituju, bersama bintang yang bersahaja dan hilang entah ke mana.

“Sebentar deh, aku mau ngomong sesuatu.” Davi melepaskan tangannya.

Secara tiba-tiba Davi menarik daun yang tertunduk akibat beban air dari hujan yang turun dan seketika meninggalkan Rena yang secara otomatis terkena tetesan air dari daun-daun yang ditarik oleh Davi.

“Ahh.. Rese! Kan jadi basah” Gerutu Rena. Berbanding terbalik dengan wajah puas Davi yang berhasil mengerjainya. Yang dikerjai menjadi senang diperlakukan tak terduga itu.
“Itu akibat kamu gak mandi sore ini.”

Kedua tangan mereka kembali terhubung. Davi mmimpin langkah ke tempat yang dituju.

**

Yang tak dirasakan keduanya adalah mulai terbentuknya chemistry. Baik dari cara berbicara yang mencampur antara lo-gw, dengan aku-kamu, atau juga kehangatan yang tampak dari setiap bahasa dan pemikiran antara keduanya. Juga tak ada penolakan saat Davi menggandengnya, atau Rena yang mendekap lengan Davi. Begitupun saat Davi merangkulnya. Sebuah bentuk keharmonisan dari sebuah hubungan dua insan manusia yang berlainan jenis.




bersambung.....

Pic source :

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner