Kuatnya…
Begitu deras.
Membentuk sebuah rupa yang menjulang tinggi, ditiup angin
samudera, dari Utara
Aku menyaksikan semua itu dengan mata kepalaku sendiri.
Antara kagum dan takut sama-sama liar pada perasaaanku. Di saat seperti itu
yang kupikir hanyalah keselamatan diri. Kemana harus berpegang? Kemana harus
berlari? Ke mana harus mendaki?
Cerita mengenai hilangnya 203 penduduk yang terseret ombak
ganas 14 tahun lalu masih menjadi momok yang menakutkan. Adikku turut serta
menjadi korban. Di pulau yang berpenduduk tak lebih dari 60.000 jiwa ini,
kehilangan 203 manusia merupakan sebuah bencana besar.
Alam marah. Bnegitu kata Tetua yang nyaris menjadi korban
ombak setinggi 15 meter itu. Tetua bilang alam marah karena manusia tidak
peduli dengan lingkungan. Menjadi seenaknya. Merasa menjadi raja sehingga lupa
kalau di bumi ini kita perlu hidup rukun dengan lingkungan, dengan alam.
Aku mendengarkan cerita Tetua saat pemakaman massal diadakan
di pulau kami. Mendengarnya bercerita mengingatkanku pada Lastri, adikku. Andai saja saat itu aku melarangnya pergi ke pantai, pasti kejadian itu tidak akan
pernah terjadi. Rasa kehilangan ini begitu dalam. Aku tak tahu perlu berapa
lama untuk menguburnya. Aku belum siap.
**