Men, ada satu momen kecil dalam hidup gue yang rasanya begitu lekat: dibawain makanan dari tumpukan wadah plastik warna-warni, ada kata “Tupperware” di bagian bawahnya. Warnanya kadang udah pudar, tutupnya ada yang sedikit melar, tapi tetap dipertahankan—karena katanya, “ini Tupperware, awet banget.”
Sebagai anak generasi 90-an, gue tumbuh di masa ketika Tupperware bukan sekadar wadah makanan. Ia adalah simbol kelas sosial menengah ke atas, representasi dari gaya hidup rumah tangga yang rapi, terorganisir, dan penuh perencanaan. Kakak gue yang sering promoin tupperware dan jualan ke temen pabriknya, bikin gue sering ngintip produk-produk keluaran Tupperware. Kata kakak gue, ini awet banget. Gue heran sih, apa betul sebuah tempat makan seharga ratusan ribu itu benar-benar “worth it”?
Tapi lama-kelamaan gue sadar bahwa Tupperware bukan cuma soal fungsi, tapi soal pengalaman. Dan gue punya pengalaman dengan produk Tupperware berupa botol minum berwarna hijau ukuran 1 Liter. Gue inget kalau gue nemu Tupperware itu di tempat kerja. Ada pengunjung restoran yang kehilangan/kelupaan dan gak diambil dalam jangka waktu yang lama.
Singkat cerita Tupperware itu jadi salah satu alat yang sering gue bawa ke manapun gue pergi. Dimulai pada tahun 2016 sampai saat ini botol hijau itu masih setia. Botol itu pernah gue bawa ke berbagai tempat kayak Bandung, Tasikmalaya, Semarang, Yogyakarta, Bali, dan juga Lombok. Kayaknya pernah gue bawa juga ke Lampung dan Belitung. Dia juga nemenin gue di aktivitas utama kayak pergi ke kampus, ke rumah temen, bahkan ketika gue manggung. Benda itu hampir selalu gue bawa. Pernah pada 2023 gue panik karena botol ijo gue gak ada. Setelah nganter pulang bini gue (waktu itu masih pacar), gue langsung pergi ke mall tempat terakhir yang gue kunjungi dan alhamdulillah ada.
![]() |
Tahun 2016 ketika ke Bandung |
Semenjak menikah gue jadi jarang bawa Tupperware ijo gue ke tempat-tempat jauh. Padahal gue sempet ke Kuningan, Cirebon, dan Pekalongan. Biasanya bini gue sih yang melarang karena dianggap memberatkan dan gak praktis. Andai dia mengerti hal-hal sentimentil kayak yang gue rasain ini, pasti dia bisa lebih bijak untuk merespon.
Tapi berita sedihnya bukan itu. Berita sedih yang datang adalah Tupperware Indonesia pamit.
Jujur aja ada rasa kehilangan yang aneh. Padahal gue gak pernah membeli produknya. Apakah Tupperware terlalu lama bertahan di zona nyamannya? Mungkin. Apakah mereka kalah bersaing di tengah gempuran produk serupa dari Cina yang jauh lebih murah? Bisa jadi. Tapi satu hal yang pasti: Tupperware memberi kita kenangan. At least, gue. Tentang bagaimana gue menikmati perjalanan dan aktivitas dengan ditemani si botol hijau pelepas dahaga bernama Tupperware.
Selamat jalan, Tupperware. Terima kasih telah menjadi bagian kecil namun bermakna dalam perjalanan hidup gue dan orang banyak.