Senin pagi setelah akhir pekan yang menyita waktu dan energi,
perjalana ke kantor dari sebuah transportasi umum menuntun gue untuk
menginjakan kaki di tempat yang biasa gue pijak yang menandakan gue udah sampai
di titik pemberhentian yang seharusnya dan biasanya gue lakukan. Tempat di mana
sebagian orang menghabiskan waktu untuk jogging. Tempat yang cukup luas dengan
pandangan yang tidak terbatas dan langsung bertatapan dengan langit luas.
Tempat yang cukup nyaman untuk melakukan aktivitas atau menyendiri.
Lalu, awan datang. Awan ini terasa jauh lebih rendah. Namun
mereka bergerak sangat cepat. Bentuknya gak tetap menandakan bahwa angin yang
bikin mereka berubah lumayan kenceng. Gue gak punya alat perekam kecepatan
angin tapi gue lumayan yakin kalau saat ini memang angin sedikit gak normal.
Tapi bukan itu yang jadi intinya. Ada rasa bahwa angin punya urusan yang lebih
penting daripada manusia yang ada di bawahnya yang juga punya urusan penting
dan mendesak. Perpaduan perasaan itu dan warna putih awan dengan langit biru bikin
perasaan gue jadi rawan. Seakan ada ruang kosong di benak (atau juga perasaan)
yang seolah kebuka dan gue dipaksa sedikit untuk menengok ke sana, gak peduli
gue siap atau enggak.
Kuping gue disumpel TWS yang muterin lagu-lagu rekomendasi
(karena udah capek milih-milih), muncul lagu-lagu melankolis. Nada-nadanya
ngebawa gue ke dalam alam raya perasaan yang sama, ada sesuatu yang bentuknya
gak jelas, tapi ada. Letaknya kayak ada di antara senang dan sedih. Apa yah ini
istilahnya? Gamang? Situasi yang mirip ketika kita berdiri di peron statiun
tanpa tahu kereta mana yang harus gue naekin.
Kantor gue berada di lantai 7 di kawasan perumahan Alam
Sutera. Karena ada di kawasan yang dominan dengan perumahan maka keberadaan gue
di lantai 7 bisa dapet sudut pandang lebih luas dan lebih tinggi. Apa yang bisa
gue liat dari ketinggian ini adalah sesuatu yang kadang bisa memicu kegamangan
yang lebih cepat. Ini karena di posisi ini gue bisa liat lebih banyak awan dan
langitnya. Ornamen tambahan seperti kendaraan lalu lalang, pohon yang bergerak,
dan siluet sang gunung sering kali jadi penambah betapa perasaan tak dikenali
ini menjadi sesuatu yang perlu ditampuk. Apalagi kalau hari mulai gelap.
Orang-orang di kantor sebagian besar pulang. Lampu-lampu jalanan di luar terasa
sebagai sebuah lilin yang berusaha memancarkan cahayanya yang lirih.
Di moment itu dan moment setelahnya gue ngeliat sebuah
siluet. Bukan wajah yang gue kenal. Tapi siluet yang pernah lewat di hidup gue
dengan berbagai skenario dan kondisi yang gue alami dan rasain. Kadang juga
siluet wajah dari orang-orang yang numpang lewat sebentar, atau tinggal lebih
lama dari yang gue bayangin. Malah terkadang terbayang diri gue sendiri. Dan
dari situ kadang muncul mimpi (atau mingkin juga khayalan?) tentang gue yang
suatu hari bisa jadi sesuatu, bisa melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar
apa yang selama ini cuma ada di kepala.
Aneh gak sih? Hal se-random awan yang bergerak itu bisa
bikin isi kepala gue traveling. Gue sampe inget gue pernah nulis kerawanan dan
kegamangan ini di blog ini seputar hari Sabtu. Kayaknya tulisan itu udah 10
tahun lalu. Mungkin memang gitu ya cara semesta berbisik ke gue bahwa come on
man, hidup tuh selalu bergerak. Meskipun kita diam di tempat, dunia terus
bergerak dan contohnya si awan-awan itu. Gamang bukan pertanda kita tersesat.
Mungkin gue cuma lagi ada di tengah-tengah masa transisi yang kadang gue juga
masih nyari jawaban transisi dari apa menuju apa.
Apa yang sebenernya kita cari ya? Pernah ngerasa gitu juga
gak sih? Atau persaan ini cuma muncul buat si melankolis dan gak berlaku buat seorang
sangunis, plegmatis, atau koleris? Dan gue tutup tulisan ini dengan pertanyaan;
apakah gue harus menikmatinya, melawannya, atau, cuekin aja?


