-->

Selasa, 31 Desember 2013

Hikayat Sekuntum Mawar

Hikayat Sekuntum Mawar
oleh : Renji Blues, untuk #NulisKilat
jumlah kata : 3.555



Jakarta siang ini begitu panas seperti biasanya. Cahaya mentari 31 Desember begitu kuat menyinari bumi. Sang awan yang tipis tak cukup kuat untuk melawan sinar dari mentari meski bentuknya sangatlah bagus. Hampir tidak ada angin. Yang ada hanya kelebatan angin yang diakibatkan oleh kendaraan di jalanan yang melaju kencang. Menerbangkan debu-debu jalanan yang bisa hinggap di manapun. Membawa mereka menjadi sesuatu yang tak menetap keberadaanya. Semua situasi itu seakan bekerjasama untuk menciptakan satu nuansa ibukota yang penuh dengan kemacetan, panas, dan agak berantakan. 


Aku, dan juga teman-temanku masih berada di tempat biasanya; sebuah ember penuh air. Ember setinggi setengah meter berwarna putih, bekas cat cair ukuran besar. Dalam ingatanku, sudah dua hari kami di sini. Di perempatan lampu merah di Jakarta. Aku tak ingat nama tempatnya. Karena akupun tak pandai dalam mengingat nama tempat. Tapi aku punya ingatan yang bagus tentang sebuah kejadian ataupun peristiwa. Aku sangat ingat bagaimana aku bisa berada disini bersama sepupuku yang berbeda warna.Aku, sepupuku, dan teman-teman yang lain diangkut kemari oleh seorang bapak tua yang memang memiliki usaha jual-beli sejenisku. Namun sampai saat ini, belum ada juga yang membawa kami untuk tujuan sesungguhnya.

Sementara ini aku dan sepupuku jenuh dengan pemandangan sekitar yang itu-itu saja. Tentu saja kami rindu akan tempat kami tumbuh dan besar dulu. Tempat yang sangat indah dengan pemandangan yang menakjubkan. Hamparan aneka bunga tersaji menawarkan keindahannya. Apalagi jika mentari mulai surut ke peraduan. Warnanya yang menghiasi langit sangat seragam dengan semua keindahan bunga yang ada. Banyak kumbang yang sering berkunjung dan bercanda dengan kami. Tentu saja kami sangat senang. Selain memberi kabar tentang keadaan di luar sana, si kumbang juga sangat ramah dan mampu menyapa kami semua yang ada di sana. Di kebun ini banyak jutaan saudaraku yang berwarna-warni. Hampir semuanya indah. Keindahannya membuat orang tersenyum. Beberapa dari mereka bahkan dikirim ke luar negeri. Aku cukup bahagia melihat mereka bisa keluar negeri dan mencari tuan yang tepat di sana. Sejujurnya, akupun ingin sekali keluar negeri dan mencari tuan di sana. Namun aku sudah merasa bahagia untuk mencari tuanku sendiri di Jakarta. Oh iya, tempat yang aku ceritakan itu kini berada jauh di sebelah timur Jakarta. Tepatnya di Bandung.

****


Belum juga aku habis mengenang masa-masa indah di Bandung, secara tiba-tiba ada seorang pemuda yang menghampiri bapak yang menjual kami. Pria berkulit mocha berpostur tinggi kurus dan ia tidak sendirian. Kulihat kearah motor yang dikendarainya, ternyata ada seorang wanita yang aku yakin mereka beda etnis. Karena terlihat dari mata dan warna kulitnya. Untuk kesekian kalinya aku melihat bahwa cinta memang indah dan tidak memperdulikan warna kulit, ras, dan bahkan agama. 

Si wanita menunggu di motor dengan tampang keheranan. Awalnya aku mengira kalau pasangan ini sedang tersesat dan menanyakan alamat tujuan ke bapak yang menjual kami. Ternyata dugaanku salah. Pria ini menanyakan harga untukku. Betapa senang hatiku mendengarnya dan semoga pria ini memang ingin membeli dan membawaku dari sini untuk semua tugas yang sudah pasti akan kulakukan. Kebetulan aku sudah melihat wanita yang akan dijadikan target. Wanita yang menunggu di motor itulah targetnya, pikirku. 


Sepertinya si pria tidak hanya ingin membawaku seorang. Karena kudengar ia menawar dalam jumlah banyak dan terjadi tawar-menawar harga. Setelah dirasa pas, aku akhirnya dibawa pria tersebut. Benar saja, aku tidak sendirian. Ada tujuh temanku dan satu sepupuku berwarna putih yang turut serta. Berdelapan, kami berpamitan kepada rekan-rekan kami di sana. Mereka semua senang sekaligus sedih. Sedih karena kehilangan teman. Namun di satu sisi mereka juga senang karena kami sudah bertuan. 

Namun apa yang terpikir oleh ku sebelumnya buyar ketika si wanita bertanya kepada si pria maksud dari pembelian mawar tersebut. Si pria tetap tidak mau membocorkannya. Dari pembicaraan mereka, aku mendapat kesimpulan baru bahwa mereka bukanlah pasangan, melainkan teman. Sepupuku meyakinkanku akan hal itu. Lantas, pertanyaan baru muncul. Pertanyaan yang sama dengan si wanita. Untuk siapakah aku ini sebenarnya? Dan untuk apakah kami dibawa olehnya. 


Tanpa tau kemana tujuan kami, aku sempat menyaksikan betapa kota ini begitu kejam dengan kemacetan lalu lintasnya yang sangat buruk. Polusi udara bisa mempercepat kematianku karena kadar oksidan yang tinggi. Aku khawatir tak mampu bertahan lebih lama. Mendekatkan diri kepada Tuhan menjadi scara tepat untuk kami agar kami bisa bertahan lebih lama dari kondisi ini. Untungnya, teman-teman yang lain masih bersemangat. Terlebih sepupuku si putih yang sedari tadi tersenyum meski debu jalanan mulai menyapa kelopaknya.

****

Setelah melewati enam kali lampu merah, akhirnya kami dibawa si pria dan wanita ke sebuah tempat perbelanjaan. Mungkin inilah jawaban dari pertanyaanku. Karena sepanjang perjalanan, aku belum bisa menemukan apa yang kucari kendati aku mencuri dengar pembicaraan mereka. Si pria tetap merahasiakan meski si wanita memaksanya menjawab. Dulu ketika masih di Bandung, aku sering mendengar bahwa hampir semua pria berusaha memberikan kejutan kepada orang yang disukainya. Tak disangka, aku menemukan kasus itu saat ini.

Pusat perbelanjaan tersebut sangat asing bagiku yang telah menghabiskan banyak waktu di kebun. Namun salah satu temanku yang berwarna merah melihat ada bangsa kami di salahsatu sudut. Kami senang karena bisa bertemu dengan satu spesies di sana. Mereka terlihat berbeda dengan kami. Terasa lebih wangi, namun bukan wangi alami. Beda dengan kami yang dari kebun. Mereka terlihat lebih punya nilai dibandingkan kami. Mereka seakan berada satu-dua tingkat di atas kami. 


Kami akhirnya menuju tempat makan di lantai 5. Di sana banyak terdapat kursi dan meja yang tertata rapih. Ada lampu temaram yang bersinar teduh. Di pojok kanan terdapat lukisan dan hey,,, itu lukisan kami. Senang rasanya. Kemudian pandanganku kualihkan kearah sebelah kiri. Terdapat keluarga yang terdiri dari seorang anak kecil berusia 5 tahun, dan orang tuanya. Mereka terlihat sangat bahagia sekali. Kebahagiaan yang Tuhan berikan, mampu dirasakan olehku melalui mereka. 

Sekitar 20 langkah dari pintu masuk, kami sampai di sebuah meja di sebelah kanan dekat dengan jendela kaca yang bisa melihat keluar. Aku mendengar si wanita memanggil pria mocha tersebut dengan panggilan Blues. Nama panggilan yang unik, menurutku. Ternyata Blues menjumpai temannya yang lain. Satu orang lelaki dan satu orang wanita. Yang pria bertubuh agak besar dan memakai kacamata. Dia sedang asyik membolak-balikan majalah bergambar artis ibukota yang pernah kulihat di koran saat Pak Tua mengisi waktu senggangnya. Namun aku tidak tau siapa namanya. Sedangkan yang wanita berdandan anggun nan centil dengan topi kecil berwarna merah yang selaras denganku. Dia sedang asyik membetulkan topinya yang menurutnya kurang pas posisinya, pikirku. Sempat kupikir, dua orang ini adalah pasangan. Sama seperti Blues dan wanita yang ikut bersamanya. Namun lagi-lagi anggapanku salah. Mereka semua ternyata hanya teman.


Sudah terlalu lelah bagiku untuk berpikir. Aku hanya menikmati pemandangan Jakarta dari kaca tempat kami berada. Terlihat gedung-gedung tinggi, yang membuatku berpikir adakah bangsaku di sana. Kemudian aku melihat lalu-lintas dan orang-orang di bawah. Kehidupan manusia terlihat agak berbeda jika melihat dari atas. Dan ternyata di luar sedang hujan. Keberadaanku di dalam ruangan membuatku bersyukur. Kelopakku yang lemah pasti tak akan sanggup menahan badai yang bisa meruntuhkan aku. Apalagi aku punya kewajiban harus tetap indah. Bayangkan jika aku berada di luar. Bisa saja kematian datang lebih cepat.

Kudengar Blues mengatakan sesuatu tentang konser. Dari situ, semua pembicaraan sangat erat berhubungan dengan konser. Mulai dari tiket, lagu yang akan dibawakan, atau obrolan mengenai artis itu sendiri. Nama-nama yang kudengar sangat awam di telingaku. Karena saat di Bandung, aku tak pernah mendengar lagu. Yang kudengar hanya suara alam. Baik itu suara rintik hujan, desir angin, atau hewan sekitar. Pun saat aku sudah tiba di Jakarta. Si Pak Tua hanya menyalakan radio yang memutar lagu-lagu berbahasa daerah. 


“Eh, nanti kita berangkat jam berapa?” Tanya Blues kepada wanita yang memakai topi kecil berwarna merah.

“Jam berapa Nji?” sahut wanita itu kepada pria gemuk berkacamata yang sedang asyik memainkan alat komunikasi yang kerap kulihat belakangan ini semenjak aku tiba di Jakarta.

“Panjiiiiii….” Wanita itu memanggilnya sekali lagi dengan nada suara yang agak besar dari sebelumnya setelah tidak adanya jawaban dari pria bernama Panji tersebut. 

“Oh.. Sorry sorry.. Ini gue lagi liat di timeline, nyari info merchandise. Katanya stocknya tinggal sedikit…” 

“Terus kita cabut jam berapa nih Nji?” Tanya Blues sambil mengambil gelas berisi hmmmm,, sepertinya jus melon.

“Setengah jam lagi kita cabut. Nunggu batre gue penuh. Sofi gak jadi ikut?” Tanya Panji sambil menengok ke arah wanita yang sedari tadi duduk dekat denganku. Ternyata Sofi adalah namanya.

“Enggak. Gue gak suka. Kebeneran aja si Blues ngajak kesini, gue ada perlu di Blok M. jadi sekalian nebeng..”

“Oh, kirain mau ikut juga..”


Setengah jam sebelum berangkat, semua aktifitas masih terlihat sama. Panji masih memantau situasi melalui alat yang sama, Sofi masih duduk memandang langit dari jendela, sedangkan Blues sambil tersenyum melihat kondisiku. Senang rasanya. Akhirnya kami diperhatikan. Blues merapihkan setiap kelopak yang terlipat, atau mengendusiku. Sesekali kulihat matanya yang melirik kearah wanita bertopi kecil. Sebuah lirikan penuh makna. Wanita yang belum kuketahui namanya. Cepat atau lambat, aku pasti akan mengetahuinya.

“Eh Blues, gue minjem mawarnya dong. Potoin yah..” sapa wanita itu yang membuat Blues sedikit kaget karena sapaan dadakannya itu.

“Boleh. Sini Vi, gue potion…” senyum tersungging di bibir Blues, yang langsung diimbangi dengan tatapan hangat saat menatapnya. 

Berbagai pose cantik diperagakan oleh siapa tadi, Vi? Paling tidak, itulah yang tadi kudengar. Entah siapa nama lengkapnya. Atau, nama kecilnya. Pose mendekatkan wajahnya denganku menjadikan salah satu adegan terbaik. Dari situ, aku bisa mengetahui alasan Blues menatap hangat gadis ini. Dari dekat, kecantikan alami dari gadis ini sungguh meretakan sukma. Ada aura yang tersembunyi. Kekuatan dan kecantikan dari dalam yang bahasa takkan sanggup menguraikannya,

****
 

 
Hujan Jakarta mulai surut dan hanya menyisakan sedikit tetesan airnya. Hanya meninggalkan cuaca dingin dan kesenduan langit. Aku tahu di luar dingin meskipun kami berada dalam ruangan. Hal ini karena ketika aku di Bandung, aku sering bermain dengan hujan. Meski tidak secara langsung, karena aku dan langit dipisahkan oleh atap berwarna bening yang membuat tetes air tidak mengenaiku secara langsung. Namun aku tau bagaimana perasaan saat hujan turun. Sering, saat hujan turun, aku menjadi satu-satunya yang berbeda dari teman-temanku. Saat mereka memilih tidur ditemani suara hujan, aku memilih bertahan dan bernyanyi. Menyanyikan lagu hujan, sendiriran. 

“Jangan halangi aku untuk nyanyikan lagu riang..
… di hujan awal September.
Basah dingin dari hujan di awal September
… menambah kelam hariku”


Aku teringat lirik lagu yang pernah kubuat dulu. Dan terpaku pada kenanganku akan Bandung dan tujuanku di sini. Di tempat yang hanya ada empat cucu adam sedang membicarakan tentang konser. Sayang sekali mereka tidak bisa mendengar suara ketika hujan tadi. Situasi di dalam ruangan memang tidak memungkinkan hal itu terjadi. Padahal, suara alam yang paling seksi menurutku adalah suara saat hujan turun. Suara alam paling merdu. Kombinasi antara jutaan tetes air yang jatuh ke bumi seakan menjadi orchestra dan simponi dari seruling yang ditiupkan malaikat. Bisa jadi, inilah alasan kenapa banyak teman-temanku tertidur saat hujan turun. 


“Ujannya udah berhenti nih.” Seru Blues memecah keheningan.

“Yuk cabut. Batre gue juga udah penuh kok.” Panji menimpali sambil merapihkan tasnya.

“Nji, kita ke lokasi jalan atau naek motor?” Tanya Vi kepada Panji

“Jalan aja. Deket kok.”

“Bentar, potoin gw sama Via dulu dong…” Blues menyela obrolan

Kemudian ia pindah posisi dan duduk di sebelah wanita yang ternyata bernama Via. Bukan Vi, seperti yang tadi kukira…

“Poto melulu.. Kali ini gak gratis yah. Lo harus traktir gue di sana nanti.” Ejek Via bercanda.

“Iya nanti gue traktir, setelah lo traktir gue duluan” Blues balas mengejek.

Sejurus kemudian, berposelah mereka berdua dengan senyum yang merekah. Panji yang bersedia mengambil gambar mereka. 

“Satu.. dua.. tiga…” Panji mulai berhitung dan mengambil gambarnya. 

“Sekali lagi yah. Pake mawarnya dong.” 

Asik.. Akhirnya aku ikut berpoto dengan mereka. Aku senang. Karena dengan begini, akhirnya aku menjadi berguna. Bukankah sebaik-baiknya makhluk adalah makhluk yang berguna? 

Tangan Via yang lembut dan kecil memegangku dengan sangat anggun. Ia sungguh paham bagaimana cara memegang bunga agar tak menyakiti keduanya. Tentu kalian tahu bahwa kami memiliki duri. Cara terbaik untuk membuat kalian nyaman saat memegangnya adalah dengan cara memegang tidak terlalu keras. Bisa saja kalian memotong duriku. Tapi sejujurnya, aku merasa sangat sakit ketika kehilangan bagian dari diriku.

“Nah.. Cakep nih. Yaudah yuk cabut. Nanti kita gak bisa dapet spot bagus.” Masih Panji yang berbicara.

“Ayo. Nih Blues, mawarnya. Makasih yah.” Kata Via sambil memberikan diriku kepada Blues.

Tatapan mata Blues berbinar setiap melihat Via. Entah disadari atau tidak, tapi aku berani bertaruh kalau Blues memiliki sebuah rasa kepadamu, Via. Cepat atau lambat kau akan mengetahuinya.

****
 
Setengah jam perjalanan dari tempat tadi, akhirnya aku, Blues, Panji dan Via sampai di sebuah area tanpa Sofi yang kudengar ia pergi ke Blok M dan sempat berpamitan kepada Blues, Panji, dan Via. Area ini sangat berbeda dengan tempat-tempat yang pernah kuhinggapi selama ini. Banyak sekali manusia, dan orang-orang yang berjualan. Menghubungkan cerita di tempat pertemuan tadi dengan kondisi di sini, aku dapat mengambil kesimpulan kalau tempat ini adalah sebuah area konser seperti yang dibicarakan oleh Blues dan kawan-kawannya. Konser pergantian tahun, pikirku. Karena memang konsernya diadakan tanggal 31 Desember, dan show akan dibuka jam 11 malam menjelang pergantian tahun. Aku bisa tau hal ini karena aku bisa mendengar dengan jelas pembicaraan saat perjalanan ke lokasi ini. Ketika Panji, Blues, dan Via membicarakan konser, semua terekam jelas olehku. Apalagi dengan cara Blues memegangku dengan sangat hati-hati, menjaga keindahan diriku. Semakin kemari, keyakinanku akan apa yang akan Blues lakukan semakin menguat. Dia pasti akan memberikanku dan teman-temanku untuk gadis bernama Via ini. 

Guys, kita pisah di sini yah.” Panji menghadap ke Blues dan Via. 

“Gue bakal masuk dari pintu sebelah kanan, kalian masuk dari pintu sebelah kiri. Kelas kita beda. Gak apa-apa yah. Yang penting kita bisa liat JKT48, dan nikmatin konser mereka sambil ngerayain taun baruan. Kapan lagi coba, ngerayain taun baruan sama idol kita. Duh, Rena pasti cantik banget malem ini. Ahhh.. Jadi gak sabar. Oh iya, lo jagain Via yah. ” 

“Oke. Gue sama Via bakal langsung masuk kok. Lo kalo mau beli merchandise, gue nitip yah. Biasa, titip photopack aja. Syukur-syukur kalo ada photopack Kinal, member favorit gue. Pahamlah.” Blues menimpali sambil terseyum.

“Ayo Vi, kita masuk. Panji, kami duluan yah.. See you.” 


Lambaian tangan dari Blues dan Via disambut oleh Panji sambil berjalan kearah pintu masuk khusus yang akan dilaluinya. Sementara itu, Blues dan Via berjalan ke arah sebaliknya. Mereka berdua jalan beriringan dan hey, lihat itu..! Tangan Blues memegang tangan Via..! Bisa terbayangkan betapa mersranya mereka. Paling tidak, itulah yang kurasa. Dan aku tau kalau mereka hanya berpegngan tangan tanpa maksud apapun selain agar tidak terpisah karena banyaknya penonton yang juga akan masuk ke area venue. Namun biar begitu, detak jantung Blues terasa tak berirama. Seakan ada yang mengganjal dan ingin diungkapkan.



Ketika sedang asyik mengantri untuk masuk ke area venue, seorang lelaki bergegas masuk dan menyenggol tangan kanan Blues yang memegan aku. Aku terjatuh ke lantai bersama teman-temanku. Dan dalam hitungan detik, tiba-tiba saja,,, KRETEK….!!! Sebuah suara ranting patah terdengar dengan jelas. Suara yang diiringi oleh jerit teriak kesakitan dari,,, tidak,,, jangan sampai… Namun…..

Astaga….!! “TIDAAAAAAKKKK….!!!! Kalian, bertahanlah…..!!!” aku berusaha menguatkan teman-temanku dan juga saudaraku. Sungguh aku sangat khawatir. Dari sekian banyak yang jatuh, hanya aku yang bernasib mujur dan tidak terinjak. Blues langsung menagambil dan menyelamatkanku yang masih terbengong mematung dengan tatapan kosong melihat teman dan saudaraku gugur seketika.


“Yah.. Cuma ini yang selamet. Sialan tuh orang, maen geradak-geruduk aja..” terungkap kekecewaan sekaligus kemarahan Blues, sama halnya denganku yang mengutuk orang yang mengakibatkan aku kehilangan saudara dan teman-temanku. 

“Yaudah sih, masih untung kan ada yang selamet. Lagian lo kok aneh deh. Masa nonton konser bawa mawar. Emang mau lo kasih buat Kinal?”

“Bukan, ini buat lo…!!!” terdengar isi hati Blues yang tidak terucap. Mana mungkin Via mendengarnya. Suara ini hanya bisa didengar olehku. Suara dari hati. 

****





Gegap gempita konser JKT48 memberi getaran ke seluruh area. Tata cahaya dan tata suara yang menggelegar menambah semarak acara. Penonton bersemangat meneriakkan nama member favorit mereka. Aku mendengar ada yang menyebut nama Melody, Naomi, Haruka, Nabilah, Rena, Ayen, dan lainnya yang aku tak hapal. Entah ada berapa banyak member dari JKT48, karena aku tidak bisa melihat kearah panggung. Blues memegangku didepan dada, tepat di belakang Via. Tinggi badan Via yang lebih pendek memang mau tidak mau membuat Via harus berada di depan Blues agar pandangannya tidak terhalang. Semua demi menikmati acara. 

Memasuki lagu kesepuluh, bibir Blues berucap sesuatu yang ternyata sama dengan lirik lagu yang sedang dinyanyikan oleh JKT48. Oh, Blues sedang bernyanyi rupanya..


“Karena kusuka, suka dirimu
Ku akan selalu berada di sini
Walau di dalam keramaian, tak apa tak kau sadari…
Karena kusuka, suka dirimu
Hanya dengan bertemu denganmu
Perasaanku jadi hangat dan menjadi penuh…”


Sebuah lagu yang aku tak tahu judulnya, namun Blues menyanyikannya dengan penuh khidmat dan penuh perasaan. Liriknya sesuai dengan apa yang ada di hatinya. Seketika kutatap wajahnya untuk mencari kearah mana matanya menatap. Jawabannya sesuai dugaanku. Via. Itulah alasannya. 


Ngomong-ngomong, aku semakin lelah. Dingin malam serta bisingnya tempat membuat aku semakin merasa lelah dan tak nyaman. Selama ini aku selalu menikmati kesunyian dan ketentraman di kebun ketika aku masih di Bandung dan di ember saat aku sudah berada di Jakarta. Bisa jadi hari ini adalah hari terakhir aku hidup. Gugurnya saudara dan teman-temanku menambah luka psikologis yang mempercepat kematianku. Sedangkan aku belum menjalankan tugasku dengan baik sebagaimana mestinya. Tidak. Ini bukan salahku. Ini salah Blues. Cepatlah Blues. 
 
****


“Selamat tahun baru…!!!!"

Teriakan penuh semangat itu membangunkanku dari tidur yang sangat sejenak. Sebuah teriakan yang berasal dari arah panggung. Seketika kulihat langit. Banyak sekali cahaya dan ledakan kecil menghiasi langit. Bentuknya sangat cantik, bahkan ada yang menyerupai diriku. Warnanya memberi kesan bahwa hidup ini sangatlah berwarna. Senang melihatnya. Tapi, di satu sisi aku pun merasa semakin tidak nyaman dengan kadar oksidan dan asap yang dihasilkan dari ledakan-ledakan yang menghiasi langit. Semua itu bisa membuatku rusak, mendekatkanku pada kematian. 

“Nah,, karena hari ini sudah berganti tahun, mari kita semua melakukan sesuatu yang lebih baik. Kita wujudkan mimpi kita. Percaya sama semua mimpi. Dan jangan takut untuk bermimpi. Kami akan membawakan lagu yang sangat cocok untuk moment ini. Sekalian, kami mau pamit. Ini adalah lagu terakhir dari kami. Terima kasih sudah datang dan bersenang-senang bersama kami. Dengarkanlah, Shiroi Shirt.. Happy new year…!!!! Yeeeee!!!”


“Karenanya pakai baju putih, dengan bau mentari
Terlahir lagi saat itu dirimu yang baru
Kegagalan itu tiada yang peduli
Karena pasti hal yang menyenangkan
Esok pasti kan menunggu..”

****



“Via… Tunggu sebentar..” Blues menahan laju Via dan berdiri tepat di hadapan Via yang membuat Via agak heran. Karena konser telah berakhir dan seharusnya mereka sudah harus pulang mengingat waktu yang semakin larut.

“Sebenernya, gue mau ngasih mawar ini buat lo.”

“Buat gue?? Buat apaan?”

Blues menahan dan terlihat mengumpulkan tenaga untuk menyelaraskan emosinya agar bisa merubah perasaan ke dalam kata-kata.

“Vi.. Lo tau kan, gw ini orangnya pemalu. Gue gak pandai nyimpen perasaan. Dan di satu sisi, gue pun gak pandai ngungkapin perasaan. Terlebih di depan orang yang gue suka. Jadi, mawar ini jadi simbol dari rasa suka gue ke lo.” 

Duh…! Blues mengatakan sesuatu yang sangat bagus menurutku. Ucapannya yang lurus langsung diimbangi oleh ku dengan cara mengeluarkan aroma andalanku, berharap agar wangiku tercium oleh indra penciuman Via. Dengan sisa tenaga dan kemampuan yang aku miliki, aku pertahankan wangi dan bentukku agar tetap bagus. Aku berjuang atas nama cinta, dan semua keagungan yang Tuhan berikan atas nama cinta.

“Se.. Sejak kapan? Terus, kenapa lo bisa suka?”

“Gak ada alasan, selain gue yang ngerasa nyaman sama lo. Bukankah cinta itu tidak mengenal siapa dan mengapa?”

Jeder.. kalimat terakhir dari Blues semakin membuatku mengeluarkan semua keindahan yang ada, meski nyawa adalah taruhannya.

Cepatlah jawab. Aku tak sanggup lagi untuk bertahan. Aku.. aku…


Sudah lama aku tidak mendengar kicau burung pagi hari. Cahaya pagi yang hangat awal Januari sangat bersahabat. Sinarnya tidak terlalu terang. Perlahan kulihat sekeliling, dan hey…! Aku masih hidup. Entah apa yang terjadi sebelumnya. Yang kuingat terakhir kali hanya saat Blues menyatakan cintanya kepada Via tanpa mengetahui bagaimana kelanjutan dari kejadian semalam. Yang kulihat saat ini adalah aku berada dalam sebuah ruangan. Dan ketika kulihat ke bawah, ternyata aku berada dalam botol berisi air. Wah.. Mungkin inilah alasan kenapa aku masih bisa bertahan.

Kulihat ke sekeliling ruangan ini, dan menemukan sosok yang sama persis dengan yang semalam kujumpai. Seorang gadis mungil bernama Via. Ia sedang berbicara melalui alat komunikasi seperti yang kulihat ketika menunggu hujan di restoran pusat perbelanjaan di Jakarta sebelum menuju ke area konser JKT48. Gadis itu, Via. Kenapa aku ada di sini?
 
Rasa penasaranku semakin meninggi. Apakah peranku tidak maksimal saat semalam? Atau mungkin Blues yang salah? Belum habis rasa penasaranku, gadis bernama Via itu mendekatiku. Duduk di kursi dan menatapku, sambil tersenyum.
 
“Hey, kamu…”

Hah…? Via berbicara kepadaku?

“Teruslah hidup. Teruslah bertahan selama mungkin. Demi apa yang Blues yakini.”

Aku semakin tidak mengerti. Memangnya, apa yang diyakini oleh Blues?

“Kamu harus bisa bertahan. Sayang yah, cuma kamu yang selamat dari kejadiaan semalam. Kalau teman-temanmu yang berwarna merah ada, jumlahnya akan sama dengan jumlah huruf pada nama depanku. 

Hey… Blues percaya kalau kamu adalah simbol dari rasa cinta yang dia punya. Kamu tau kan, aku pun tak bisa membuat orang lain terluka karena aku pernah merasakannya. Kamu harus tau kalau aku masih belum bisa dengan mudahnya melupakan orang dari masa lalu. Gak mudah buat ngapus kenangan yang udah lama terbangun. Untuk itu, aku telah berjanji untuk merawatmu selama mungkin. Maka, bantulah aku agar aku bisa memenuhi janjiku kepada Blues. Saat ini, aku memang belum bisa memberi harapan lebih untuknya. Kalau waktunya tepat, Tuhan bisa aja ngejodohin aku dan Blues. Iya gak?”

“Oh iya, Happy new year....”

Via bangkit dan berlalu setelah sebelumnya memberikan sebuah kecupan hangat dan lembut untukku.


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner