Hikayat Sekuntum Mawar
oleh : Renji Blues, untuk #NulisKilat
jumlah kata : 3.555
Jakarta siang ini begitu panas seperti biasanya. Cahaya mentari 31 Desember begitu kuat menyinari bumi. Sang awan yang tipis tak cukup kuat untuk melawan sinar dari mentari meski bentuknya sangatlah bagus. Hampir tidak ada angin. Yang ada hanya kelebatan angin yang diakibatkan oleh kendaraan di jalanan yang melaju kencang. Menerbangkan debu-debu jalanan yang bisa hinggap di manapun. Membawa mereka menjadi sesuatu yang tak menetap keberadaanya. Semua situasi itu seakan bekerjasama untuk menciptakan satu nuansa ibukota yang penuh dengan kemacetan, panas, dan agak berantakan.
Aku, dan juga
teman-temanku masih berada di tempat biasanya; sebuah ember penuh air. Ember
setinggi setengah meter berwarna putih, bekas cat cair ukuran besar. Dalam
ingatanku, sudah dua hari kami di sini. Di perempatan lampu merah di Jakarta.
Aku tak ingat nama tempatnya. Karena akupun tak pandai dalam mengingat nama
tempat. Tapi aku punya ingatan yang bagus tentang sebuah kejadian ataupun
peristiwa. Aku sangat ingat bagaimana aku bisa berada disini bersama sepupuku
yang berbeda warna.Aku, sepupuku, dan teman-teman yang lain diangkut kemari
oleh seorang bapak tua yang memang memiliki usaha jual-beli sejenisku. Namun
sampai saat ini, belum ada juga yang membawa kami untuk tujuan sesungguhnya.
Sementara ini
aku dan sepupuku jenuh dengan pemandangan sekitar yang itu-itu saja. Tentu saja
kami rindu akan tempat kami tumbuh dan besar dulu. Tempat yang sangat indah
dengan pemandangan yang menakjubkan. Hamparan aneka bunga tersaji menawarkan
keindahannya. Apalagi jika mentari mulai surut ke peraduan. Warnanya yang
menghiasi langit sangat seragam dengan semua keindahan bunga yang ada. Banyak
kumbang yang sering berkunjung dan bercanda dengan kami. Tentu saja kami sangat
senang. Selain memberi kabar tentang keadaan di luar sana, si kumbang juga sangat
ramah dan mampu menyapa kami semua yang ada di sana. Di kebun ini banyak jutaan
saudaraku yang berwarna-warni. Hampir semuanya indah. Keindahannya membuat
orang tersenyum. Beberapa dari mereka bahkan dikirim ke luar negeri. Aku cukup
bahagia melihat mereka bisa keluar negeri dan mencari tuan yang tepat di sana.
Sejujurnya, akupun ingin sekali keluar negeri dan mencari tuan di sana. Namun
aku sudah merasa bahagia untuk mencari tuanku sendiri di Jakarta. Oh iya, tempat
yang aku ceritakan itu kini berada jauh di sebelah timur Jakarta. Tepatnya di
Bandung.
****
Belum juga aku
habis mengenang masa-masa indah di Bandung, secara tiba-tiba ada seorang pemuda
yang menghampiri bapak yang menjual kami. Pria berkulit mocha berpostur tinggi
kurus dan ia tidak sendirian. Kulihat kearah motor yang dikendarainya, ternyata
ada seorang wanita yang aku yakin mereka beda etnis. Karena terlihat dari mata
dan warna kulitnya. Untuk kesekian kalinya aku melihat bahwa cinta memang indah
dan tidak memperdulikan warna kulit, ras, dan bahkan agama.
Si wanita
menunggu di motor dengan tampang keheranan. Awalnya aku mengira kalau pasangan
ini sedang tersesat dan menanyakan alamat tujuan ke bapak yang menjual kami.
Ternyata dugaanku salah. Pria ini menanyakan harga untukku. Betapa senang
hatiku mendengarnya dan semoga pria ini memang ingin membeli dan membawaku dari
sini untuk semua tugas yang sudah pasti akan kulakukan. Kebetulan aku sudah
melihat wanita yang akan dijadikan target. Wanita yang menunggu di motor itulah
targetnya, pikirku.
Sepertinya si
pria tidak hanya ingin membawaku seorang. Karena kudengar ia menawar dalam
jumlah banyak dan terjadi tawar-menawar harga. Setelah dirasa pas, aku akhirnya
dibawa pria tersebut. Benar saja, aku tidak sendirian. Ada tujuh temanku dan
satu sepupuku berwarna putih yang turut serta. Berdelapan, kami berpamitan
kepada rekan-rekan kami di sana. Mereka semua senang sekaligus sedih. Sedih
karena kehilangan teman. Namun di satu sisi mereka juga senang karena kami
sudah bertuan.
Namun apa yang
terpikir oleh ku sebelumnya buyar ketika si wanita bertanya kepada si pria
maksud dari pembelian mawar tersebut. Si pria tetap tidak mau membocorkannya.
Dari pembicaraan mereka, aku mendapat kesimpulan baru bahwa mereka bukanlah
pasangan, melainkan teman. Sepupuku meyakinkanku akan hal itu. Lantas,
pertanyaan baru muncul. Pertanyaan yang sama dengan si wanita. Untuk siapakah
aku ini sebenarnya? Dan untuk apakah kami dibawa olehnya.
Tanpa tau kemana
tujuan kami, aku sempat menyaksikan betapa kota ini begitu kejam dengan
kemacetan lalu lintasnya yang sangat buruk. Polusi udara bisa mempercepat
kematianku karena kadar oksidan yang tinggi. Aku khawatir tak mampu bertahan
lebih lama. Mendekatkan diri kepada Tuhan menjadi scara tepat untuk kami agar
kami bisa bertahan lebih lama dari kondisi ini. Untungnya, teman-teman yang
lain masih bersemangat. Terlebih sepupuku si putih yang sedari tadi tersenyum
meski debu jalanan mulai menyapa kelopaknya.
****
Setelah melewati
enam kali lampu merah, akhirnya kami dibawa si pria dan wanita ke sebuah tempat
perbelanjaan. Mungkin inilah jawaban dari pertanyaanku. Karena sepanjang
perjalanan, aku belum bisa menemukan apa yang kucari kendati aku mencuri dengar
pembicaraan mereka. Si pria tetap merahasiakan meski si wanita memaksanya
menjawab. Dulu ketika masih di Bandung, aku sering mendengar bahwa hampir semua
pria berusaha memberikan kejutan kepada orang yang disukainya. Tak disangka,
aku menemukan kasus itu saat ini.
Pusat
perbelanjaan tersebut sangat asing bagiku yang telah menghabiskan banyak waktu
di kebun. Namun salah satu temanku yang berwarna merah melihat ada bangsa kami
di salahsatu sudut. Kami senang karena bisa bertemu dengan satu spesies di
sana. Mereka terlihat berbeda dengan kami. Terasa lebih wangi, namun bukan
wangi alami. Beda dengan kami yang dari kebun. Mereka terlihat lebih punya
nilai dibandingkan kami. Mereka seakan berada satu-dua tingkat di atas kami.
Kami akhirnya
menuju tempat makan di lantai 5. Di sana banyak terdapat kursi dan meja yang
tertata rapih. Ada lampu temaram yang bersinar teduh. Di pojok kanan terdapat
lukisan dan hey,,, itu lukisan kami. Senang rasanya. Kemudian pandanganku
kualihkan kearah sebelah kiri. Terdapat keluarga yang terdiri dari seorang anak
kecil berusia 5 tahun, dan orang tuanya. Mereka terlihat sangat bahagia sekali.
Kebahagiaan yang Tuhan berikan, mampu dirasakan olehku melalui mereka.
Sekitar 20
langkah dari pintu masuk, kami sampai di sebuah meja di sebelah kanan dekat
dengan jendela kaca yang bisa melihat keluar. Aku mendengar si wanita memanggil
pria mocha tersebut dengan panggilan Blues. Nama panggilan yang unik,
menurutku. Ternyata Blues menjumpai temannya yang lain. Satu orang lelaki dan
satu orang wanita. Yang pria bertubuh agak besar dan memakai kacamata. Dia
sedang asyik membolak-balikan majalah bergambar artis ibukota yang pernah
kulihat di koran saat Pak Tua mengisi waktu senggangnya. Namun aku tidak tau
siapa namanya. Sedangkan yang wanita berdandan anggun nan centil dengan topi
kecil berwarna merah yang selaras denganku. Dia sedang asyik membetulkan
topinya yang menurutnya kurang pas posisinya, pikirku. Sempat kupikir, dua
orang ini adalah pasangan. Sama seperti Blues dan wanita yang ikut bersamanya. Namun
lagi-lagi anggapanku salah. Mereka semua ternyata hanya teman.
Sudah terlalu
lelah bagiku untuk berpikir. Aku hanya menikmati pemandangan Jakarta dari kaca
tempat kami berada. Terlihat gedung-gedung tinggi, yang membuatku berpikir
adakah bangsaku di sana. Kemudian aku melihat lalu-lintas dan orang-orang di
bawah. Kehidupan manusia terlihat agak berbeda jika melihat dari atas. Dan
ternyata di luar sedang hujan. Keberadaanku di dalam ruangan membuatku
bersyukur. Kelopakku yang lemah pasti tak akan sanggup menahan badai yang bisa
meruntuhkan aku. Apalagi aku punya kewajiban harus tetap indah. Bayangkan jika
aku berada di luar. Bisa saja kematian datang lebih cepat.
Kudengar Blues mengatakan
sesuatu tentang konser. Dari situ, semua pembicaraan sangat erat berhubungan
dengan konser. Mulai dari tiket, lagu yang akan dibawakan, atau obrolan
mengenai artis itu sendiri. Nama-nama yang kudengar sangat awam di telingaku.
Karena saat di Bandung, aku tak pernah mendengar lagu. Yang kudengar hanya
suara alam. Baik itu suara rintik hujan, desir angin, atau hewan sekitar. Pun
saat aku sudah tiba di Jakarta. Si Pak Tua hanya menyalakan radio yang memutar
lagu-lagu berbahasa daerah.
“Eh, nanti kita
berangkat jam berapa?” Tanya Blues kepada wanita yang memakai topi kecil
berwarna merah.
“Jam berapa
Nji?” sahut wanita itu kepada pria gemuk berkacamata yang sedang asyik
memainkan alat komunikasi yang kerap kulihat belakangan ini semenjak aku tiba
di Jakarta.
“Panjiiiiii….”
Wanita itu memanggilnya sekali lagi dengan nada suara yang agak besar dari
sebelumnya setelah tidak adanya jawaban dari pria bernama Panji tersebut.
“Oh.. Sorry
sorry.. Ini gue lagi liat di timeline, nyari info merchandise. Katanya stocknya
tinggal sedikit…”
“Terus kita
cabut jam berapa nih Nji?” Tanya Blues sambil mengambil gelas berisi hmmmm,,
sepertinya jus melon.
“Setengah jam
lagi kita cabut. Nunggu batre gue penuh. Sofi gak jadi ikut?” Tanya Panji sambil
menengok ke arah wanita yang sedari tadi duduk dekat denganku. Ternyata Sofi
adalah namanya.
“Enggak. Gue gak
suka. Kebeneran aja si Blues ngajak kesini, gue ada perlu di Blok M. jadi
sekalian nebeng..”
“Oh, kirain mau
ikut juga..”
Setengah jam
sebelum berangkat, semua aktifitas masih terlihat sama. Panji masih memantau
situasi melalui alat yang sama, Sofi masih duduk memandang langit dari jendela,
sedangkan Blues sambil tersenyum melihat kondisiku. Senang rasanya. Akhirnya
kami diperhatikan. Blues merapihkan setiap kelopak yang terlipat, atau
mengendusiku. Sesekali kulihat matanya yang melirik kearah wanita bertopi
kecil. Sebuah lirikan penuh makna. Wanita yang belum kuketahui namanya. Cepat
atau lambat, aku pasti akan mengetahuinya.
“Eh Blues, gue
minjem mawarnya dong. Potoin yah..” sapa wanita itu yang membuat Blues sedikit
kaget karena sapaan dadakannya itu.
“Boleh. Sini Vi,
gue potion…” senyum tersungging di bibir Blues, yang langsung diimbangi dengan
tatapan hangat saat menatapnya.
Berbagai pose
cantik diperagakan oleh siapa tadi, Vi? Paling tidak, itulah yang tadi
kudengar. Entah siapa nama lengkapnya. Atau, nama kecilnya. Pose mendekatkan
wajahnya denganku menjadikan salah satu adegan terbaik. Dari situ, aku bisa
mengetahui alasan Blues menatap hangat gadis ini. Dari dekat, kecantikan alami
dari gadis ini sungguh meretakan sukma. Ada aura yang tersembunyi. Kekuatan dan
kecantikan dari dalam yang bahasa takkan sanggup menguraikannya,
****
Hujan Jakarta
mulai surut dan hanya menyisakan sedikit tetesan airnya. Hanya meninggalkan
cuaca dingin dan kesenduan langit. Aku tahu di luar dingin meskipun kami berada
dalam ruangan. Hal ini karena ketika aku di Bandung, aku sering bermain dengan
hujan. Meski tidak secara langsung, karena aku dan langit dipisahkan oleh atap
berwarna bening yang membuat tetes air tidak mengenaiku secara langsung. Namun
aku tau bagaimana perasaan saat hujan turun. Sering, saat hujan turun, aku
menjadi satu-satunya yang berbeda dari teman-temanku. Saat mereka memilih tidur
ditemani suara hujan, aku memilih bertahan dan bernyanyi. Menyanyikan lagu
hujan, sendiriran.
“Jangan halangi aku untuk nyanyikan lagu riang..
… di hujan awal September.
Basah dingin dari hujan di awal September
… menambah kelam hariku”
Aku teringat
lirik lagu yang pernah kubuat dulu. Dan terpaku pada kenanganku akan Bandung
dan tujuanku di sini. Di tempat yang hanya ada empat cucu adam sedang
membicarakan tentang konser. Sayang sekali mereka tidak bisa mendengar suara
ketika hujan tadi. Situasi di dalam ruangan memang tidak memungkinkan hal itu
terjadi. Padahal, suara alam yang paling seksi menurutku adalah suara saat
hujan turun. Suara alam paling merdu. Kombinasi antara jutaan tetes air yang
jatuh ke bumi seakan menjadi orchestra dan simponi dari seruling yang ditiupkan
malaikat. Bisa jadi, inilah alasan kenapa banyak teman-temanku tertidur saat
hujan turun.
“Ujannya udah
berhenti nih.” Seru Blues memecah keheningan.
“Yuk cabut.
Batre gue juga udah penuh kok.” Panji menimpali sambil merapihkan tasnya.
“Nji, kita ke
lokasi jalan atau naek motor?” Tanya Vi kepada Panji
“Jalan aja.
Deket kok.”
“Bentar, potoin
gw sama Via dulu dong…” Blues menyela obrolan
Kemudian ia pindah
posisi dan duduk di sebelah wanita yang ternyata bernama Via. Bukan Vi, seperti
yang tadi kukira…
“Poto melulu..
Kali ini gak gratis yah. Lo harus traktir gue di sana nanti.” Ejek Via bercanda.
“Iya nanti gue
traktir, setelah lo traktir gue duluan” Blues balas mengejek.
Sejurus
kemudian, berposelah mereka berdua dengan senyum yang merekah. Panji yang
bersedia mengambil gambar mereka.
“Satu.. dua..
tiga…” Panji mulai berhitung dan mengambil gambarnya.
“Sekali lagi
yah. Pake mawarnya dong.”
Asik.. Akhirnya
aku ikut berpoto dengan mereka. Aku senang. Karena dengan begini, akhirnya aku
menjadi berguna. Bukankah sebaik-baiknya makhluk adalah makhluk yang berguna?
Tangan Via yang
lembut dan kecil memegangku dengan sangat anggun. Ia sungguh paham bagaimana
cara memegang bunga agar tak menyakiti keduanya. Tentu kalian tahu bahwa kami
memiliki duri. Cara terbaik untuk membuat kalian nyaman saat memegangnya adalah
dengan cara memegang tidak terlalu keras. Bisa saja kalian memotong duriku.
Tapi sejujurnya, aku merasa sangat sakit ketika kehilangan bagian dari diriku.
“Nah.. Cakep
nih. Yaudah yuk cabut. Nanti kita gak bisa dapet spot bagus.” Masih Panji yang
berbicara.
“Ayo. Nih Blues,
mawarnya. Makasih yah.” Kata Via sambil memberikan diriku kepada Blues.
Tatapan mata
Blues berbinar setiap melihat Via. Entah disadari atau tidak, tapi aku berani
bertaruh kalau Blues memiliki sebuah rasa kepadamu, Via. Cepat atau lambat kau
akan mengetahuinya.
****
Setengah jam
perjalanan dari tempat tadi, akhirnya aku, Blues, Panji dan Via sampai di
sebuah area tanpa Sofi yang kudengar ia pergi ke Blok M dan sempat berpamitan
kepada Blues, Panji, dan Via. Area ini sangat berbeda dengan tempat-tempat yang
pernah kuhinggapi selama ini. Banyak sekali manusia, dan orang-orang yang
berjualan. Menghubungkan cerita di tempat pertemuan tadi dengan kondisi di
sini, aku dapat mengambil kesimpulan kalau tempat ini adalah sebuah area konser
seperti yang dibicarakan oleh Blues dan kawan-kawannya. Konser pergantian
tahun, pikirku. Karena memang konsernya diadakan tanggal 31 Desember, dan show
akan dibuka jam 11 malam menjelang pergantian tahun. Aku bisa tau hal ini
karena aku bisa mendengar dengan jelas pembicaraan saat perjalanan ke lokasi
ini. Ketika Panji, Blues, dan Via membicarakan konser, semua terekam jelas
olehku. Apalagi dengan cara Blues memegangku dengan sangat hati-hati, menjaga
keindahan diriku. Semakin kemari, keyakinanku akan apa yang akan Blues lakukan
semakin menguat. Dia pasti akan memberikanku dan teman-temanku untuk gadis
bernama Via ini.
“Guys, kita
pisah di sini yah.” Panji menghadap ke Blues dan Via.
“Gue bakal masuk
dari pintu sebelah kanan, kalian masuk dari pintu sebelah kiri. Kelas kita
beda. Gak apa-apa yah. Yang penting kita bisa liat JKT48, dan nikmatin konser
mereka sambil ngerayain taun baruan. Kapan lagi coba, ngerayain taun baruan
sama idol kita. Duh, Rena pasti cantik banget malem ini. Ahhh.. Jadi gak sabar.
Oh iya, lo jagain Via yah. ”
“Oke. Gue sama
Via bakal langsung masuk kok. Lo kalo mau beli merchandise, gue nitip yah.
Biasa, titip photopack aja. Syukur-syukur kalo ada photopack Kinal, member
favorit gue. Pahamlah.” Blues menimpali sambil terseyum.
“Ayo Vi, kita
masuk. Panji, kami duluan yah.. See you.”
Lambaian tangan
dari Blues dan Via disambut oleh Panji sambil berjalan kearah pintu masuk
khusus yang akan dilaluinya. Sementara itu, Blues dan Via berjalan ke arah
sebaliknya. Mereka berdua jalan beriringan dan hey, lihat itu..! Tangan Blues
memegang tangan Via..! Bisa terbayangkan betapa mersranya mereka. Paling tidak,
itulah yang kurasa. Dan aku tau kalau mereka hanya berpegngan tangan tanpa
maksud apapun selain agar tidak terpisah karena banyaknya penonton yang juga
akan masuk ke area venue. Namun biar begitu, detak jantung Blues terasa tak
berirama. Seakan ada yang mengganjal dan ingin diungkapkan.
Ketika sedang
asyik mengantri untuk masuk ke area venue, seorang lelaki bergegas masuk dan
menyenggol tangan kanan Blues yang memegan aku. Aku terjatuh ke lantai bersama
teman-temanku. Dan dalam hitungan detik, tiba-tiba saja,,, KRETEK….!!! Sebuah
suara ranting patah terdengar dengan jelas. Suara yang diiringi oleh jerit
teriak kesakitan dari,,, tidak,,, jangan sampai… Namun…..
Astaga….!!
“TIDAAAAAAKKKK….!!!! Kalian, bertahanlah…..!!!” aku berusaha menguatkan
teman-temanku dan juga saudaraku. Sungguh aku sangat khawatir. Dari sekian
banyak yang jatuh, hanya aku yang bernasib mujur dan tidak terinjak. Blues
langsung menagambil dan menyelamatkanku yang masih terbengong mematung dengan
tatapan kosong melihat teman dan saudaraku gugur seketika.
“Yah.. Cuma ini
yang selamet. Sialan tuh orang, maen geradak-geruduk aja..” terungkap
kekecewaan sekaligus kemarahan Blues, sama halnya denganku yang mengutuk orang
yang mengakibatkan aku kehilangan saudara dan teman-temanku.
“Yaudah sih,
masih untung kan ada yang selamet. Lagian lo kok aneh deh. Masa nonton konser
bawa mawar. Emang mau lo kasih buat Kinal?”
“Bukan, ini buat
lo…!!!” terdengar isi hati Blues yang tidak terucap. Mana mungkin Via
mendengarnya. Suara ini hanya bisa didengar olehku. Suara dari hati.
****
Gegap gempita
konser JKT48 memberi getaran ke seluruh area. Tata cahaya dan tata suara yang
menggelegar menambah semarak acara. Penonton bersemangat meneriakkan nama
member favorit mereka. Aku mendengar ada yang menyebut nama Melody, Naomi, Haruka,
Nabilah, Rena, Ayen, dan lainnya yang aku tak hapal. Entah ada berapa banyak
member dari JKT48, karena aku tidak bisa melihat kearah panggung. Blues
memegangku didepan dada, tepat di belakang Via. Tinggi badan Via yang lebih
pendek memang mau tidak mau membuat Via harus berada di depan Blues agar
pandangannya tidak terhalang. Semua demi menikmati acara.
Memasuki lagu kesepuluh,
bibir Blues berucap sesuatu yang ternyata sama dengan lirik lagu yang sedang
dinyanyikan oleh JKT48. Oh, Blues sedang bernyanyi rupanya..
“Karena
kusuka, suka dirimu
Ku
akan selalu berada di sini
Walau
di dalam keramaian, tak apa tak kau sadari…
Karena
kusuka, suka dirimu
Hanya
dengan bertemu denganmu
Perasaanku
jadi hangat dan menjadi penuh…”
Sebuah
lagu yang aku tak tahu judulnya, namun Blues menyanyikannya dengan penuh
khidmat dan penuh perasaan. Liriknya sesuai dengan apa yang ada di hatinya.
Seketika kutatap wajahnya untuk mencari kearah mana matanya menatap. Jawabannya
sesuai dugaanku. Via. Itulah alasannya.
Ngomong-ngomong, aku semakin lelah. Dingin malam
serta bisingnya tempat membuat aku semakin merasa lelah dan tak nyaman. Selama
ini aku selalu menikmati kesunyian dan ketentraman di kebun ketika aku masih di
Bandung dan di ember saat aku sudah berada di Jakarta. Bisa jadi hari ini
adalah hari terakhir aku hidup. Gugurnya saudara dan teman-temanku menambah
luka psikologis yang mempercepat kematianku. Sedangkan aku belum menjalankan tugasku
dengan baik sebagaimana mestinya. Tidak. Ini bukan salahku. Ini salah Blues.
Cepatlah Blues.
****
“Selamat
tahun baru…!!!!"
Teriakan
penuh semangat itu membangunkanku dari tidur yang sangat sejenak. Sebuah
teriakan yang berasal dari arah panggung. Seketika kulihat langit. Banyak
sekali cahaya dan ledakan kecil menghiasi langit. Bentuknya sangat cantik,
bahkan ada yang menyerupai diriku. Warnanya memberi kesan bahwa hidup ini
sangatlah berwarna. Senang melihatnya. Tapi, di satu sisi aku pun merasa
semakin tidak nyaman dengan kadar oksidan dan asap yang dihasilkan dari
ledakan-ledakan yang menghiasi langit. Semua itu bisa membuatku rusak, mendekatkanku
pada kematian.
“Nah,,
karena hari ini sudah berganti tahun, mari kita semua melakukan sesuatu yang
lebih baik. Kita wujudkan mimpi kita. Percaya sama semua mimpi. Dan jangan
takut untuk bermimpi. Kami akan membawakan lagu yang sangat cocok untuk moment
ini. Sekalian, kami mau pamit. Ini adalah lagu terakhir dari kami. Terima kasih
sudah datang dan bersenang-senang bersama kami. Dengarkanlah, Shiroi Shirt..
Happy new year…!!!! Yeeeee!!!”
“Karenanya pakai baju putih, dengan
bau mentari
Terlahir lagi saat itu dirimu yang
baru
Kegagalan itu tiada yang peduli
Karena pasti hal yang menyenangkan
Esok pasti kan menunggu..”
****
“Via…
Tunggu sebentar..” Blues menahan laju Via dan berdiri tepat di hadapan Via yang
membuat Via agak heran. Karena konser telah berakhir dan seharusnya mereka
sudah harus pulang mengingat waktu yang semakin larut.
“Sebenernya,
gue mau ngasih mawar ini buat lo.”
“Buat
gue?? Buat apaan?”
Blues
menahan dan terlihat mengumpulkan tenaga untuk menyelaraskan emosinya agar bisa
merubah perasaan ke dalam kata-kata.
“Vi..
Lo tau kan, gw ini orangnya pemalu. Gue gak pandai nyimpen perasaan. Dan di satu
sisi, gue pun gak pandai ngungkapin perasaan. Terlebih di depan orang yang gue
suka. Jadi, mawar ini jadi simbol dari rasa suka gue ke lo.”
Duh…!
Blues mengatakan sesuatu yang sangat bagus menurutku. Ucapannya yang lurus
langsung diimbangi oleh ku dengan cara mengeluarkan aroma andalanku, berharap
agar wangiku tercium oleh indra penciuman Via. Dengan sisa tenaga dan kemampuan
yang aku miliki, aku pertahankan wangi dan bentukku agar tetap bagus. Aku berjuang
atas nama cinta, dan semua keagungan yang Tuhan berikan atas nama cinta.
“Se..
Sejak kapan? Terus, kenapa lo bisa suka?”
“Gak
ada alasan, selain gue yang ngerasa nyaman sama lo. Bukankah cinta itu tidak
mengenal siapa dan mengapa?”
Jeder..
kalimat terakhir dari Blues semakin membuatku mengeluarkan semua keindahan yang
ada, meski nyawa adalah taruhannya.
Cepatlah
jawab. Aku tak sanggup lagi untuk bertahan. Aku.. aku…
Sudah
lama aku tidak mendengar kicau burung pagi hari. Cahaya pagi yang hangat awal
Januari sangat bersahabat. Sinarnya tidak terlalu terang. Perlahan kulihat
sekeliling, dan hey…! Aku masih hidup. Entah apa yang terjadi sebelumnya. Yang
kuingat terakhir kali hanya saat Blues menyatakan cintanya kepada Via tanpa
mengetahui bagaimana kelanjutan dari kejadian semalam. Yang kulihat saat ini
adalah aku berada dalam sebuah ruangan. Dan ketika kulihat ke bawah, ternyata
aku berada dalam botol berisi air. Wah.. Mungkin inilah alasan kenapa aku masih
bisa bertahan.
Kulihat
ke sekeliling ruangan ini, dan menemukan sosok yang sama persis dengan yang
semalam kujumpai. Seorang gadis mungil bernama Via. Ia sedang berbicara melalui
alat komunikasi seperti yang kulihat ketika menunggu hujan di restoran pusat
perbelanjaan di Jakarta sebelum menuju ke area konser JKT48. Gadis itu, Via.
Kenapa aku ada di sini?
Rasa
penasaranku semakin meninggi. Apakah peranku tidak maksimal saat semalam? Atau
mungkin Blues yang salah? Belum habis rasa penasaranku, gadis bernama Via itu
mendekatiku. Duduk di kursi dan menatapku, sambil tersenyum.
“Hey,
kamu…”
Hah…?
Via berbicara kepadaku?
“Teruslah
hidup. Teruslah bertahan selama mungkin. Demi apa yang Blues yakini.”
Aku
semakin tidak mengerti. Memangnya, apa yang diyakini oleh Blues?
“Kamu
harus bisa bertahan. Sayang yah, cuma kamu yang selamat dari kejadiaan semalam.
Kalau teman-temanmu yang berwarna merah ada, jumlahnya akan sama dengan jumlah
huruf pada nama depanku.
Hey…
Blues percaya kalau kamu adalah simbol dari rasa cinta yang dia punya. Kamu tau
kan, aku pun tak bisa membuat orang lain terluka karena aku pernah
merasakannya. Kamu harus tau kalau aku masih belum bisa dengan mudahnya melupakan
orang dari masa lalu. Gak mudah buat ngapus kenangan yang udah lama terbangun. Untuk
itu, aku telah berjanji untuk merawatmu selama mungkin. Maka, bantulah aku agar
aku bisa memenuhi janjiku kepada Blues. Saat ini, aku memang belum bisa memberi
harapan lebih untuknya. Kalau waktunya tepat, Tuhan bisa aja ngejodohin aku dan
Blues. Iya gak?”
“Oh iya, Happy new year....”
Via
bangkit dan berlalu setelah sebelumnya memberikan sebuah kecupan hangat dan
lembut untukku.