TRILOGY OF JAPAN NIGHT
PART 3 –REVIEW-
Sabtu, 4 April 2015
@ Kota Kasablanka, Jakarta
Seperti diduga, pengalaman saya bertemu dan berpelukan
dengan HYDE seperti yang saya ceritakan sebelumnya di Part 2 mendapat banyak
apresiasi dari pembaca yang merupakan teman-teman. Siapapun pasti akan merasa bahagia
jika mereka berada di posisi saya. Sebuah kepingan kenangan yang tersusun dan
diejawantahan dalam bentuk kata-kata rupanya mampu menarik emosi dan soul untuk
sama-sama merasakan kebahagiaan yang saya alami. Semoga mereka yang tadinya
hanya mampu merasakan dari tulisan saya, suatu saat nanti mendapat kesempatan
untuk pengalaman abadi.
***
Sesaat sebelum gate dibuka (di jadwal tertera jam 5 sore),
di luar sudah tampak antrian mengular, sisanya terbagi menjadi
kelompok-kelompok kecil di sekitaran pintu masuk. Tiket sudah di tangan, jadi
saya merasa tidak perlu ikut mengantri. Yang ada hanya perasaan cemas karena
tiket teman ada di saya sedangkan si teman masih dalam perjalanan.
“Tiketnya dipegang… Tiketnya dipegang..” begitulah kira-kira
suara cepak bersafari yang sudah berjaga sedari tadi. Ini artinya, gate akan
dibuka dalam waktu dekat. Pemegang tiket VIP memang sudah mendapatkan no
seating, sehingga tidak perlu mengantri pun tetap akan mendapatkan kursi yang
tertera pada tiket. Tapi tampaknya kekhawatiran para penonton VIP bahwa
tempatnya akan diserobot oleh orang-orang idiot memperbesar keinginan mereka
untuk menjaga wilayah kekuasaannya. Atau mungkin mereka ingin cepat-cepat masuk
dan mempostingnya di social media seperti orang-orang kekinian.
Antrian sudah lebih dari 30 menit, namun orang-orang masih
banyak yang berada di luar venue. Masih rame, kata mereka. Saya termasuk
orang-orang yang berada di luar untuk menunggu teman. Erick dan Yuuki datang
ba’da maghrib. Basuki bersaudara sudah lebih dulu tiba. Tiket mereka ada di
saya. Setelah berdiskusi berlima, akhirnya pembagian tiket tetap seperti
semula. Saya, Erick, dan Yuuki yang mendapat jatah dari seorang teman masuk ke
kelas regular, Basuki bersaudara masuk ke VIP. Sebenernya ingin sekali masuk ke
VIP, namun ada tanggung jawab moral yang harus saya pegang.
Sempat diwawancarai oleh salah satu media, saya dan teman
memutuskan masuk ke dalam. Antrian sudah berkurang saat itu. Sebagian besar
sudah ada di dalam venue. Tanpa pemeriksaan yang ketat, masuklah kami ke venue
acara.
Berfoto-foto di tempat-tempat menjanjikan menjadi hal yang
lumrah. Kami termasuk ke dalam orang-orang itu. Lalu mampir ke booth
merchandise. Tak disangka, kami bertemu dengan Pak P yang kami kenal selagi
masih di Sony Music, kini pindah ke Universal Music. Hal ini menjelaskan kenapa
setiap undangan yang kami kirim ke email beliau, tidak mendapat respon.
Pembicaraan terdengar hangat dan akrab meskipun kami amat jarang bertemu maupun
berkomunikasi.
Kemudian teman kami yang lain datang. Axel, Fije, dan
Melody. Mereka di kelas yang sama dengan saya. Jadi saya tidak akan merasa
sendirian. Buat saya, kurang menyenangkan kalau menonton konser sendirian,
kecuali untuk konser yang saya ingin intim bersamanya.
Rombongan Axel mengajak kami untuk bersantai dulu. Mereka
ingin merokok, saya ingin dirokok. Bercanda. Akhirnya dipilihlah lounge
terdekat yang ada di dekat venue. Di
situ ada wajah-wajah familiar buat saya. Sato dari Samurai Blue, Cia dari
X-Shibuya dan Alicka yang kini sudah menjadi suami-istri, juga terlihat
beberapa wartawan dan sesaat saya melihat Mr. Shanee dari promotor. Ngobrol dan
diskusi bersama ditemani oleh Carlos dari Obake, kami melewatkan performance
pertama yaitu Tokyo Ska Paradise Orchestra. Nama yang terlalu panjang buat
saya. Nanti sajalah, kejar di Java Jazz, pikir saya.
Obrolan harus
disudahi karena tiba-tiba saja rekan-rekan wartawan tergesa-gesa untuk
keluar dari café. Kemungkinannya ada 2, antara VAMPS akan bermain, atau terjadi
peristiwa tidak diduga di café tersebut (kebakaran, kesurupan, dll). Alasan
pertama lebih masuk akal sehingga kami memutuskan untuk pergi ke dalam venue
meninggalkan minuman yang memang sudah hampir menyentuh dasar gelas.
Ternyata Tokyo Ska baru saja menyelesaikan aksinya. Menurut
Erick, band ini cukup bagus. Memang. Saya sudah memperkirakan bahwa band Tokyo
Ska ini adalah type band festival yang bisa menghibur untuk penonton yang bahkan
tidak kenal mereka sebelumnya. Apalagi jika dilihat dari wajah personil
originalnya, tentu band ini punya banyak pengalaman menjelajahi
festival-festival musik dunia. Ada intelektualitas dalam musical ability tiap
personil yang dibalut ke dalam sajian apik sebuah hiburan. Penonton kita sudah
siap dan mudah beradaptasi untuk sesuatu semacam itu. Beberapa malah banyak
yang bilang bahwa justru penampilan Tokyo Ska itulah yang paling bagus
dibanding 2 band lainnya. Petjah, kalau kata anak-anak zaman sekarang.
Suhu udara yang terlalu dingin membuat tubuh ini kurang bisa
beradaptasi. Panitia tidak menyediakan booth minuman beralkohol. Sial memang.
Sesuatu yang hangat sangat cocok untuk suhu yang terlalu dingin menurut saya.
Band kedua, [ALEXANDROS], sedang melakukan cek line.
Muda-mudi lebih banyak yang menghabiskan waktunya dengan duduk bersantai sambil
memainkan gadgetnya atau sekadar bercanda. Banyak juga yang stoned, terkesan
tidak peduli. Sambil menunggu band naik ke panggung, saya mencoba mencari teman
dan tempat yang strategis. Tujuan saya ada dua, view yang bagus dan sound yang
bulat dan balance.
Penampilan [ALEXANDROS] cukup bisa diterima oleh penonton.
Musiknya asik, mainnya rapih. Soundnya juga cukup galak. Namun yang paling
memuaskan saya adalah di tiap lagunya ada saja part-part yang tidak diduga.
Agak nakal memang. Musik mereka memang layak dipuji dengan ikhlas. Bukan tidak
mungkin jika mereka datang lagi ke Indonesia, penonton mereka akan bertambah.
Hajatan masih menyisakan satu lagi performance yang paling
banyak massanya; VAMPS. Para fans yang sedari tadi menunggu kemunculan vampire
makin tidak sabar menunggu superstar muncul. Apalagi di luar, sedang terjadi
red moon yang menambah cerita-cerita lain saat konser. Andai event diadakan di
ruangan terbuka, maka konser akan semakin berkesan saat fenomena alam terjadi
tepat saat sang vampire muncul.
Sebuah track pembuka terdengar nyaring yang membuat para
Bloodsuckers terhentak. Nama yang kurang bagus andai diterjemahkan ke Bahasa
yang berarti Penghisap Darah. Perlu diingat bahwa vampire bukanlah satu-satunya
yang bisa menghisap darah. Serangga bernama tumbila atau yang lebih dikenal
sebagai bangsat juga kerap menghisap darah manusia. Juga pembalut wanita. Mulai
dari yang tipis, extra tipis, bersayap, 20 cm,,, semua menghisap darah. Kata
VAMPROSE jauh lebih baik. Mengingatkan saya terhadap nama Guns ‘n Roses.
Sesuatu yang identik dengan kejahatan dibalut dengan mawar yang indah dan
berduri.
Dengan track pembuka tersebut, penonton yang tadinya duduk
mulai berdiri. Yang berdiri mulai mendekat. Sesuatu yang memalukan terjadi di
barisan VIP. Penonton di bagian tengah dan belakang yang ingin lebih dekat ke
panggung rela menyingkirkan etika dan pikirannya untuk maju ke barikade
terdepan. Cara yang amat kampungan mengingat tiap penonton sudah memiliki
kursinya masing-masing. Apalagi terdengar kabar bahwa konon sekumpulan orang
itu adalah mereka-mereka yang mendapat tiket gratis dan masuk belakangan. Tanpa
memikirkan perasaan penonton yang benar-benar membeli tiket (seharga 1.6 juta),
sekelompok orang itu rela melukai perjuangan penonton yang membeli tiket.
Seharusnya panitia bisa mengambil tindakan mengingat syarat dan ketentuan yang
tertera di bagian belakang tiket, pasal 7 yang berbunyi : Panitia berhak tanpa
kewajiban pengembalian uang atau kompensasi dalam bentuk apapun untuk melarang
masuk atau meminta setiap orang meninggalkan lokasi pertunjukan, apabila
diperlukan untuk keamanan dan ketertiban pertunjukan. Berlaku juga untuk
penonton yang merokok di dalam venue. Saya bukan anti perokok. Tapi idiot yang
merokok di festival music indoor memang layak untuk dikebiri.
ZERO menjadi lagu pembuka dengan lighting yang baru
dinyalakan khusus untuk VAMPS. Mungkin ini yang tertera di rider. Hasilnya
menjadi sangat bagus. Seisi ruangan menjadi kerlap-kerlip berkat dua lampu
tembak yang diarahkan ke bola kaca yang berputar. Persis seperti lagu Anata
(dari band L’Arc-en-Ciel) atau Endless Rain (dari band X-JAPAN) yang sering
saya lihat.
Berturut-turut adalah WORLD’S ENDS, LIP, dan EVIL. Sebelum
akhirnya personil VAMPS menyisakan JINX sendirian bermain keyboard. Nada-nada
yang melodius terdengar dari kelincahan jarinya memainkan tuts menghasilkan
melodi yang biasa terdengar di film-film dorama. Kemudian intro yang akrab di
telinga Bloodsuckers, atau apalah, terdengar. VAMPIRE’S LOVE. Sial, ini lagu
bagus.
Sempat miss lirik sesaat, entah karena HYDE lupa, atau
karena memberi kesempatan kepada penonton untuk bernyanyi. VAMPIRE’s LOVE yang
dibawakan adalah versi berbahasa Inggris. Sedangkan materi yang terdapat di
album Bloodsuckers adalah lagu berbahasa Jepang. Akibatnya, saya tidak bisa ikut
bernyanyi karena memang tidak tahu dengan lagu versi bahasa Inggris. Tidak
mengapa. Toh apada akhirnya saya menikmati pula penamilan itu. HYDE sangat
menghayati tiap liriknya yang membuat saya merinding karena kedinginan suhu
udara. Tata cahaya di lagu ini memang patut dipuji karena penyesuaian atmosfir
dengan emosi lagu begitu padu.
Lagu berikutnya, HUNTING, mampu membakar penonton setelah
bermesraan di VAMPIRE’S LOVE. HUNTING bukanlah lagu, melainkan sebuah hymne
perang di akhir pekan yang dikomandoi oleh jenderal HYDE dan serdadu rock abad
pertengahan. Putaran handuk/slayer di lagu berikutnya (ANGEL TRIP) terasa tidak
kompak karena hanya sedikit yang melakukan itu. Andai diadakan project untuk
membagi-bagian slayer, pasti akan lebih meriah. Atau lightstick, yang
belakangan ini menjadi item wajib di dunia pertunjukkan music. 40 box atau
setara 4000 batang bisa membuat konser semakin berwarna-warni. Butuh sekitar
Rp. 1.400.000 untuk merealisasikannya. Angka yang tergolong kecil andai project
tersebut bisa dijalankan beramai-ramai secara massiv.
SEX BLOOD ROCK ‘N ROLL menjadi lagu sebelum VAMPS
meninggalkan stage. Sebuah idiom dan filosofis dari sex, drug, and rock n’
roll, mengacu pada pola hidup dan struggling band rock era 70-90an. SSetalh
lagu tersebut, VAMPS menghilang untuk kemudian dilakukan encore. Belakangan
ini, encore menjadi sesuatu yang sudah diskenariokan oleh kebanyakan band. Yang
pasti, LOVE ADDICT dan MEMORIES menutup perjumpaan malam itu. Sang Vampire dan
serdadu rock menghilang, lampu dipadamkan, dan show berakhir.
Dua kali menyaksikan VAMPS, saya belum berkesempatan untuk
menikmati lagu Evanescent secara live. Padahal saya yakin lagu ini sangat
bagus, setara VAMPIRE’S LOVE. Tipikal orang Indonesia yang mudah galau membuat
keyakinan saya terhadap lagu ini bisa menjadi amunisi ampuh yang berujung
rindu.
Konser berakhir, satu persatu penonton mulai keluar.
Beberapa mencari teman yang terpisah, sisanya ada yang ke toilet, berfoto, atau
juga membeli merchandise dan CD. Saya bertemu kembali dengan Basuki bersaudara
yang mengembalikan potongan tiket VIP yang telah saya wanti sebelumnya, buat
koleksi. Mungkin sebagai ucapan terima kasih, saya diberi official merchandise
berupa towel yang saya terima dengan perasaan senang dan haru.
Kembali bertemu dua fans asal Jepang, saya dan Ahmad
langsung menariknya untuk mencari tempat yang bagus. Mereka ingin meminta video
saat VAMPS tiba di Bandara. Sambil berjalan ke parkiran, kami berpisah dengan
dua orang Jepang tersebut. Nanti saja videonya saya upload, begitu kata saya
setelah melihat raut wajah mereka yang tampaknya tidak mengizinkan untuk saya
dan Ahmad satu ranjang dengan mereka di hotel tempat mereka menginap. Ya kali.
Kami berpisah setelah sebelumnya berpelukan dan berfoto bersama.
****
Sebenarnya, acara musik dengan konsep multi artis ini sangat bagus. Penonton
bisa dapat banyak hiburan berbeda dari artis. Sayangnya, sepertinya panitia
lupa untuk melakukan survey ada atau tidaknya fans si artis di Indonesia. Untuk
ukuran bisnis, itu penting. Mendekatkan diri ke komunitas merupakan salah satu
jalan terbaik untuk mengorek informasi. Fanbase sangat terbuka kok untuk
dilibatkan hal-hal seperti itu. Jadi jangan salahkan sepinya penjualan tiket
karena memang untuk dua nama selain VAMPS, amat kurang peminatnya. Yang
akhirnya banyak sekali tiket gratisan. Konser besar dengan tiket gratis sangat
tidak mendidik masyarakat untuk menghargai sebuah pertunjukan. Meski begitu,
saya tidak munafik dan tidak akan menolak andai ada tawaran tiket gratis untuk
saya.
Rabu, 8 April 2015
@ My Rented Room