Teror horor di Jakarta yang memakan korban jiwa sudah
memasuki satu minggu. Peristiwa terror yang dilakukan oleh teroris berhasil
menyita atensi publik, bahkan dunia. Ada fenomena yang menarik nan menggelitik
sesaat setelah kejadian berlalu.
Siapa yang tidak tahu bahwa setelah kejadian yang mencekam
itu, muncul berbagai lelucon di mana kita menertawakan teror yang banyak orang
bilang gagal. Lelucon-lelucon itu tersebar di media sosial yang lazim
dikunjungi dan dimiliki oleh orang banyak seperti Facebook, Twitter, dan bahkan
akun media sosial paling privat, Path. Beberapa lelucon yang muncul adalah
seputar rasa ingin tahu yang melebihi rasa takut dari masyarakat, abang-abang
yang berjualan di sekitar lokasi ledakan beberapa jam setelah kejadian, sampai
ke polisi yang dibilang ganteng.
Kita tertawa dan jumawa melahirkan tagar #KamiTidakTakut.
Sebuah tagar yang kemudian menjadi ramai dipakai. Tak mengherankan jika
kemudian tagar tersebut menjadi trending. Postingan dengan tagar itu beberapa disertai dengan foto.
Tukang sate, tukang kacang, pedagang asongan, sipil yang menonton di lokasi
kejadian, dll. Semua berserakan di ranah online. Dari satu foto bahkan diupload
ulang oleh akun lain, juga diretweet. #KamiTidakTakut menjadi semakin besar.
Tapi, apa betul kalau kita, atau setidaknya saya, merasa
tidak takut?
Ketakutan adalah suatu tanggapan emosi terhadap ancaman.
Karena rasa takut itu sendiri merupakan mekanisme pertahanan dasar yang terjadi
sebagai respons terhadap stimulus tertentu. Begitu menurut Wikipedia.
Siapapun yang berada dekat dengan lokasi peristiwa baku
tembak maupun lokasi ledakan bom minggu lalu harusnya merasa takut. Rasa takut
terbesar adalah saat menjadi korban. Dalam hal seperti itu, siapapun bisa
menjadi korban. Entah korban peluru nyasar saat terjadi baku tembak, atau
menjadi korban ledakan bom. Tempat umum adalah sasaran empuk untuk aksi teror.
Efeknya besar, korbannya juga banyak. Efek lanjutannya adalah rasa panik dan
takut orang-orang sekitar. Takut menjadi korban. Itu wajar.
Tagar #KamiTidakTakut memang ditujukan kepada dunia bahwa
kita, masyarakat Indonesia tidak takut akan aksi terror. Begitu kan? Tapi kok
saya malah takut yah? Saya malah khawatir. Khawatir bahwa akan ada ancaman
berikutnya yang membuat kita ketakutan dan tidur dalam mimpi buruk yang paling
buruk. Saya takut bahwa kedepannya, aksi terror akan semakin nekad dengan
persiapan yang lebih matang. Sungguh, saya merasa takut. Seperti yang saya
katakan di atas, ketakutan terbesar adalah menjadi korban. Atau saudara, teman,
kerabat, dan keluarga menjadi korban kebiadaban para pelaku.
Saya teringat dengan kejadian yang dialami oleh saudara saya
saat hendak mengisi bahan bakar di sebuah SPBU. Motor yang sedang mengisi bahan
bakar tiba-tiba mengeluarkan api. Saudara saya yang berada di belakangnya tentu
saja takut. Sebuah api menyala di SPBU, entah horor seperti apa yang akan
terjadi.
Saudara saya itu kemudian menyuruh semua yang ada di
belakangnya untuk mendur, takut terjadi apa-apa. Dan itu dilakukan oleh
pengendara yang lain. Rasa takut dan horor itu seketika berakhir setelah api
dari motor berhasil dipadamkan. Tahu apa yang terjadi? Saudara saya dan
beberapa pengendara tertawa. Yang bisa saya artikan bahwa tawa itu adalah tawa
puas setelah rasa takut itu muncul. Persis seperti main roller coaster atau
wahana lain yang membuat kita takut namun kemudian tertawa setelahnya. Bedanya
adalah, teror dan juga kejadian saudara saya itu adalah kejadian yang tidak
pernah kita duga dan tahu. Tanpa persiapan, muncul secara tiba-tiba.
Tapi kenapa yah kita masih bisa tertawa? Entahlah.
Lelucon-lelucon yang menghibur rasanya jauh lebih besar atensinya dibanding
rasa duka terhadap korban. Berharap mengundang tawa. Beberapa berhasil,
beberapa lainnya terkesan garing. Sedikit sekali postingan yang menyatakan rasa
berduka cita.
Satu lagi yang menjadi perhatian saya adalah, rasa takut
saya terhadap orang dewasa yang menyaksikan berita teror bersama anak-anak
mereka yang di bawah umur. Ini juga berlaku untuk guru-guru di tingkat SD.
Terbayang seorang Ibu yang menyuapi anaknya di depan TV sambil berkata “Tuh Nak
liat, bomnya meledak..” , itu sangat bahaya.
Anak-anak, harus dijauhi dari pemberitaan seperti itu.
Biarkan mereka tumbuh dan berkembang dengan imajinasi mereka di dunianya
sendiri. Dunia anak-anak adalah dunia merdeka yang seharusnya tidak kita
libatkan dalam peristiwa dan obrolan orang dewasa seperti teror.
Sampai saat ini, saya masih terganggu memikirkan bahwa
sesungguhnya ada yang salah dengan tawa kita terhadap aksi teror. Tapi apa?