Salah satu cara manusia untuk tetap waras adalah dengan melakukan pelarian dari rutinitas yang menjemukan. Sebuah repetitif dari realitas yang ditawarkan oleh hidup untuk kita jalani. Sebagai bentuk pelarian yang umumnya dilakukan adalah dengan melakukan perjalanan ke suatu tempat. Akhir Desember, tepatnya pada 25-28 Desember 2019, gue melakukan pelarian dari rutinitas itu ke suatu tempat bernama Bromo.
Perjalanan ke Bromo dapat terwujud berkat mengikuti open trip dari My Permata Wisata. Perjalanan kedua setalah sebelumnya mengikuti trip ke Pahawang-Kiluan pada bulan September di tahun yang sama. Pergi sendirian sah-sah saja tapi gue memilih berangkat bersama teman gue. Awalnya ada 2 orang yang ikut tapi hanya satu orang yang ikut karena teman lainnya cancel. Pergilah kami berdua ke Parkir Timur Senayan yang merupakan titik kumpul peserta trip.
Jogja
Satu bus penuh melakukan perjalanan dengan mengambil rute Pantura. Tentu saja melewati Karawang, dan tepatnya melewati rumah mantan. Tak jadi soal. Meskipun tentu saja terlintas kelebatan kenangan yang mengiringi laju kendaraan sampai akhirnya tiba di Kendal Subuh hari. Pemberhentian dimaksudkan untuk istirahat. Gue memilih untuk sholat, makan, dan mandi. Mandi menjadi penting karena di hari kedua itu rombongan tiba di Jogjakarta dan memiliki waktu luang untuk menikmati suasana Jogja. Kedatangan kami di Jogja sekitar jam 11 siang. Tempat pertama yang dituju adalah sentra oleh-oleh bakpia. Gue kurang tau nama tempatnya.
Gue lebih memilih jalan ke sebelahnya untuk membeli bolu kukus Tugu Jogja. Sayangnya, habis. Padahal baru jam sebelas. Iya sih pasti karena musim liburan. Gue dan temen gue memutuskan untuk jalan sedikit buat mampir ke outlet Bakpiaku dan belanja di situ. Bakpiaku emang enak banget. Ketimbang bakpia pathok yang terkenal sekalipun, gue lebih memilih Bakpiaku.
Perjalanan lanjut ke Malioboro. Kendaraan di parkir di situ dan kami diberikan waktu sampai jam 10 malam. Acara bebas, katanya. Penyewaan sepeda penuh hari itu. Ya jelas aja. Musim liburan. Keputusan saat itu adalah wisata di dalam kota, daerah Malioboro. Kunjungan pertama adalah Mall Malioboro untuk santap siang. Santap siang ini penting untuk mengisi tenaga. Kedai McD adalah pilihan yang dipilih saat itu. Selanjutnya jalan kaki ke kantor pos dan mengirim kartu pos untuk diri sendiri yang sayangnya sampai sekarang gak pernah sampai. Sebal.
Aktifitas lain saat itu adalah bermain sepeda. Ada penyewaan sepeda yang bisa dipakai dan kami bersepeda selama dua jam kurang. Lokasi yang dikunjungi adalah Alun-Alun dan juga Tamansari. Malam hari di Kota Jogja memberikan pengalaman seru. Keramaian kota ada di situ. Hampir semua sudut kota Jogjakarta penuh sesak oleh pengunjung, seniman, pedagang, dan juga sampah.
Sampah sangat menggunung saat itu. Gue pikir memang volumenya yang tinggi akibat banjir pengunjung di musim liburan. Mungkin itu betul. Tapi fakta lain terungkap di kemudian hari ketika gue mengikuti seminar tentang sampah. Kata narasumbernya saat itu sampah di Jogja memang tidak diangkut karena satu dan lain hal. Masalah di TPA, seinget gue.
Malam harinya kami balik ke Malioboro Mall buat santap malam. Pilihan jatuh ke KFC yang memiliki tempat rahasia berupa balkon outdoor yang ngasih pemandangan malam Malioboro dari ketinggian. Wah, seru banget. Semacam menemukan tempat tersembunyi. Setelahnya adalah mencari oleh-oleh untuk rekan gue. Gue juga beli sih buat ngasih ke mantan. Habis itu balik ke bus dan jam sepuluh malam perjalanan dilanjutkan ke Malang dengan kondisi yang sudah lelah.
Malang
Sampai di Malang sekitar jam 7 pagi dan sampai di Batu sekitar jam 8. Tujuan pertama adalah tempat oleh-oleh. Tour leader kami bilang kalau kamar mandi di penginapan terbatas, hanya ada dua. Jadi sebaiknya mandi di tempat oleh-oleh itu. Dan memang dia punya kamar mandi yang banyak. Mungkin sekitar 20 bilik kamar mandi.
Gue dan temen bukan mandi, tapi milih nyari makan dulu. Makan pun di luar. Gak jauh dari tempat berhentinya bus ada warung makan yang duh, gue lupa namanya. Yang jelas rumah makan itu cukup legendaris, menurut dia. Makanlah kami di situ. Cukup murah. Untuk rasa sih biasa aja.
Perjalanan dilanjutkan dan kami sampai sekitar jam 10.30 siang di home stay. Semua barang diturunkan dan masing-masing sudah banyak yang rebahan. Kecapekan. Temen gue juga gitu. Duh dari tadi belum ngenalin. Temen gue itu namanya Frans. Temen rumah. Nah si Frans itu milih istirahat setelah makan bakso dari mamang-mamang yang tiba-tiba hadir begitu ngeliat ada rombongan di home stay yang kami tempati. Gue sendiri memilih buat sholat Jumat di tempat yang gak jauh dari home stay. Lokasi home stay juga ternyata deket banget sama Jatim Park 2.
Siang sampai malam adalah waktu luang yang diberikan untuk kami yang ingin menikmati suasana dan wisata Batu. Gue dan Frans mulai akrab dengan peserta lain yang bernama Aris. Omongan mengenai Persija dan sepakbola Indonesia adalah pemicunya. Bersama Aris kami mulai mencari tempat wisata yang sekiranya asik untuk dikunjungi. Pilihan saat itu adalah Omah Kayu. Dengan menumpang Grab Car, kami total bersepuluh berangkat ke tempat itu. Kondisi hujan tanpa henti.
Hujan memang menjadi penyebab gagalnya rencana siang itu. Hujan tanpa henti dan tidak adanya kendaraan untuk pulang membuat kami di mobil rela tidak keluar dari mobil dan memilih putar balik untuk ke tujuan lain yang lebih aman. Sopir Grab menawarkan ke cafe Cokelat Klasik. Yasudah, ke situ saja.
Untungnya di sana bagus. Cafe dengan harga terjangkau yang menyajikan pemandangan asik berupa pegunungan dan lahan golf. Suasana pasca hujan menambah suasana menjadi lebih dramatis akibat kabut dan dinginnya cuaca. Foto-foto menjadi kegiatan tak terelakan yang sayang dilewatkan. Ikatan dengan peserta lain pun sudah dimulai. Gue dan Frans kenalan dengan Adinda, yang ternyata orang Tangerang juga. Kami berenam (mobil lain yang diisi geng Aris tidak ikut ke cafe) pulang ke home stay untuk istirahat.
![]() |
Bergaya dengan latar lapangan golf dan bukit |
Malam harinya setelah sholat Magrib dan menyeduh teh dingin gue memilih ke beranda untuk gitaran. Gue memang membawa guitalele buat menemani perjalanan. Sebagai teman dan juga properti dalam pengambilan gambar maupun video. Beberapa lagu andalan dimainkan. Masih sendiri. Pas masuk ke dalam ada peserta lain, sudah berumur, gue panggil Si Om. Dia ingin ikut nyanyi. Jadilah gue berdua nyanyi di ruang tengah home stay. Nyanyi lagu-lagu yang enak dinyanyiin, salah satunya lagu Kerispatih.
Aris ngajak ke alun-alun tapi gue memilih untuk rebahan dan cerita dengan peserta lain. Tentu tentang pengalamannnya nge-trip ke tempat yang pernah dikunjungi. Jam 10 malem gue tidur, entah dengan yang lain. dan terbangun di jam 1 malam untuk bersiap-siap trekking ke Bromo. Perjalanan sampai ke titik point untuk kemudian naik Jeep. Ada pembagian tempat duduk. Gue, Frans, dan Aris duduk bersama-sama dalam satu mobil. Ditemani juga dengan salah satu tour leader.
Dekat dengan tour leader bisa membuat kita melihat dari sudut pandang yang berbeda. Seperti yang diceritakan oleh Imas, tour leader kami. Gue baru tau lho kalau ternyata salah satu supir yang bawa bus kami tuh agak-agak bolot. Ada kejadian sampai 3 kali salah jalan. tadinya udah curiga ini supir bete atau emang marah, soalnya cuma jawab-jawab pendek setiap dikasih arahan sama tour leader. Sampai akhirnya peserta lain yang duduk di depan kami bilang kalau sepertinya supir yang dimaksud itu agak bolot. Barulah misteri itu terjawab. Oalah. Pantesan dikasi arahan kok iya iya aja. Sampai salah jalan beberapa kali.
![]() |
Sesaat menjelang pendakian |
Singkat cerita kami sampai di Bromo. Perjalanan menuju Bromo memang harus naik Jeep karena medannya yang melewati rute berpasir. Atau mungkin ada alasan politis. Entahlah. Diskusi dilakukan di situ. Diskusi ditujukan untuk memilih rute. Bromo itu luas dan ada banyak spot untuk mencari sunrise. Ada Seruni, Pananjakan, dan lainnya, gue gak inget. Sopir Jeep bilang kalau untuk ke Seruni maupun Pananjakan sudah terlambat karena sudah penuh. Kami diantar menuju kawah. Karena masih pagi jadi mobil masih bisa mengantar kami sampai batas akhir kendaraan boleh masuk. Agak siangan, mobil gak boleh masuk ke situ dan orang yang ingin ke kawah harus berjalan cukup jauh sebelum akhirnya mendaki melewati anak tangga. Kelelahan berganda. Kami cukup beruntung bisa dapat jalan pintas.
Area pendakian masih gelap dan cahaya dari senter handphone menjadi petunjuk menuju arah kawah. Udara yang dingin dan ketinggian tempat membuat langkah menjadi sedikit berat dan membuat lelah sementara cahaya mentari yang terbit tidak dapat ditawar untuk menunda kemunculannya. Gue bergegas ke atas dan melihat semburat langit yang semakin menawan. Sesampainya di atas, berbarengan dengan nafas yang mesti diatur, gue sudah merasa terpesona dengan langit di sebelah Timur.
![]() |
Salah satu foto terbaik, yang gue suka. |
Dari ketinggian itu gue mencari spot foto terbaik. Orang-orang yang masih berada di Pananjakan maupun Seruni membuat area kawah masih sangat sedikit sehingga aktifitas berfoto bisa menghasilkan kualitas bagus tanpa adanya distorsi visual yang tidak diinginkan. Jalan setapak untuk menuju puncak kawah ke arah Timur beitu menggoda. Gue ingin ke sana tapi Frans menolaknya. Gue sadar bahwa dirinya begitu kelelahan terutama pada saat adegan menanjak. Toh foto-foto dari tempat yang gue singgahi pun masih sangat bagus. Tidak mengurangi keindahan Bromo secara holistik.
![]() |
Foto di depan area kawah |
Selain foto di area kawah, area lain yang dijajaki adalah area luas sebelum sampai ke warung tempat mobil Jeep parkir. Jalan dari area kawah sampai area parkir itu cukup jauh. Sudah gue bahas di atas. kami ke warung untuk sarapan dan pergi ke area Pasir Berbisik. Area luas yang menawarkan eksotisme Bromo berupa hamparan pasir dan latar belakang kawah Bromo. Pose andalan di area ini adalah berdiri di atas Jeep atau berfoto bersama kuda. Ada satu yang ingin gue sampaikan. Apabila mau ke Pasir Berbisik pastikan buat pipis atau berak terlebih dahulu karena di area itu gak ada toilet. Akan sangat jauh untuk ke toilet terdekat yaitu di area warung.
![]() |
Area Pasir Berbisik menampilkan hamparan pasir yang luas |
Perjalanan dilanjutkan ke Bukit Teletubbies. Ini adalah klimaks yang menurut gue sepakat bahwa kawasan Bromo merupakan kawasan wisata yang eksotis dengan keindahan alamnya. Hamparan padang hijau yang beratapkan langit biru dengan awan putih menambah dramatisasi keindahan alam itu. Apalagi semilir angin yang membuat suara-suara acak membawa kesan syahdu. Ada bisikan-bisikan yang bergemuruh seakan menuntun menuju ketenangan.
![]() |
Begitu indah |
**
Satu spot terakhir adalah Coban Pelangi. Kami bertujuh (Dinda ikut rombongan kami) memilih untuk tidak ke tempat wisata itu karena kelelahan yang melanda. Bukti dari lelahnya perjalanan itu adalah semua peserta trip di Jeep yang gue tumpangi terlelap tanpa terkecuali dengan posisi yang tidak beraturan. Kami sampai di lokasi parkir bus sekitar jam 11 siang yang dilanjutkan dengan adegan mandi, sholat, dan mencari makan untuk selanjutnya melakukan perjalanan pulang ke Jakarta.
Terima kasih kepada Antimo yang telah menjadi obat tidur selama perjalanan pulang. Frans menyarankan meminum Antimo agar terlelap di bus. Dan memang efektif. Gue inget kalau gue sempet terbangun di Kediri untuk mampir beli makan pas Maghrib. Selebihnya gue tidur pulas sampai Jakarta di pagi harinya. Cara ini akan gue pakai kembali saat perjalanan jauh yang memakan waktu lama. Apalagi gue orangnya susah tidur. Oh iya, kami sampai di Jakarta pukul 08.00 pagi. Karena bis berhenti terakhir di Tangerang tepatnya di Rawa Bokor, gue,Frans, Dinda, dan satu temannya memilih untuk terus ikut sampai Rawa Bokor dan dari situ memesan Grab Car untuk sampai ke rumah masing-masing. Perjalanan berakhir.
**
Dulu, bahkan sampai sekarangpun gue seringkali merasa skeptis dan antusias secara bersamaan mengenai tempat wisata. Skeptis itu muncul karena merasa pujian tentang suatu tempat agak berlebihan dan orang-orang datang ke situ seakan..... untak apa sih.. Ngapain sih... Begitu. Tapi di satu sisi gue antusias juga tentang tempat itu. Semacam penasaran. Masalahnya seringkali gue menemukan romantisme yang berlebihan namun setelah dikunjungi ternyata biasa aja. Bromo pun begitu pada awalnya.
Kenapa sih orang harus ke Bromo? Dan kenapa juga ada orang menjadikan foto di Bromo sebagai foto WhatsApp profilnya. Oke, itu terserah mereka memang. Tapi setelah ke Bromo secara langsung ternyata gue merasakan betapa Bromo memang semagis itu. Percaya deh. Kita dapat dengan mudah dibuat takjub oleh pesonanya. Awan yang seakan mudah diraih, gunung yang kekar dan berumur, langit luas dan menawannya arunika menjadi daya tarik tersendiri bagi siapapun. Oh, kalau mau ditambahkan, sebutlah bahwa Bromo masih menarik secara mistis karena masih banyak ditemukan sesaji kembang di area kawah. Paduan tempat eksotis sekaligus mistis menjadikan paduan yang bisa menjadi pembahasan di kemudian hari.
Gue menyadari betul keindahan itu. Merasa kecil, tentu aja. Menjadi manusia yang merasakan kebesaran Illahi. Dari perjalanan itu gue merasa lebih segar secara pemikiran. Untuk kembali menjadi waras, pemulihan energi dan mood dari sebuah perjalanan gue ke Bromo tampaknya memang berhasil. Persis seperti para petualang yang sudah pergi ke mana-mana, satu perjalanan ke suatu tempat bisa membuat kita menjadi tertarik untuk berjalan lebih jauh, mendaki lebih tinggi, ataupun menyelam lebih dalam. So, yuk ambil peta dan kumpulkan uang untuk mencari tempat lainnya demi jiwa yang lebih baik. Semoga.
Video dokumentasi bisa dilihat di YouTube melalui tautan berikut :
https://youtu.be/v17wSle5jvI
Video dokumentasi bisa dilihat di YouTube melalui tautan berikut :
https://youtu.be/v17wSle5jvI