-->

Jumat, 29 April 2022

Tidak Selamanya Yang Indah Itu Dilihat




Namaku Srinyila yang terlahir dari keluarga yang berada. Aku anak ke-tiga dari tiga bersaudara. Aku memiliki kakak perempuan dan laki-laki. Kata orang anak terakhir pasti dimanja. Aku anak yang paling disayang oleh Ayahku. Apapun yang kuinginkan Ayahku akan selalu mendukung dan menuruti. Makanya kakakku suka iri padaku padahal aku tidak berharap diperlakukan seperti itu dan ingin menjadi wanita yang mandiri. Aku sekarang sudah tumbuh dewasa dan bekerja sebagai marketing di suatu perusahaan ternama di Jakarta. Dan umurku sudah memasuki umur yang diinginkan para orangtua untuk ke jenjang serius yaitu menikah.


Pernikahaan dan berkeluarga  di usia 25 tahun memang merupakan impianku. Tetapi aku belum mendapatkan pasangan yang cocok hingga sekarang aku berumur 28 tahun. Orang tuaku sudah mencoba mengenalkanku dengan anak temannya tetapi dari sekian banyaknya itu tidak adayang berlanjut. Kekhawatiran  Ayahku semakin meningkat karena keberhasilan seorang ayah adalah menemani anak perempuannya sampai menikah. Tetapi dalam membina sebuah keluarga akan lebih baik jika menemukan pasangan yang kita sukai dan bukan karena paksaan.


Pada akhirnya waktu terus berjalan dan Ayahku mulai memperkenalkanku lagi dengan pria dari anak temannya. Dan dia memang yang paling niat dan serius karena dia langsung menemui orangtuaku dengan datang ke rumah. Lalu aku ajak dia ngobrol. Dia beda satu tahun di bawahku dan merupakan lulusan universitas ternama di kampungnya. Dia bernama Bryan dan bekerja sebagai PNS di Jakarta. Sebuah mantu impian Ayahku sepertinya.


Kami lanjut bertukar nomor handphone dan lanjut ke WhatsApp. Setiap harinya kami chat berbicara mengenai keadaan yang sedang kami kerjakan dan pertanyaan standar yang membuatku bosan. Jadi terkadang aku membalasnya lama dan terkadang tidak membalasnya. Dikarenakan aku tidak membalas pesannya, dia langsung menghubungi Ayahku. Lalu Ayahku tanya padaku.


”Sri dengan Bryan bagaimana?  Masih suka berhubungan chat kan?”.

“ Iya masih.” Jawabku agar cepat menjawab pertanyaan Ayahku.


Padahal aku sudah tidak pernah lagi membalas chat tersebut.


“Hm, soalnya tadi Bryan WhatsApp Ayah, ‘Sri sibuk ya om? Soalnya chat Bryan

ga dibales.’” Kata Ayahku.

“Oh iya aku lupa membalasnya”. Aku menjawabnya dengan rasa kesal karna mengapa dia harus mengadu.

“Oh iya, balas ya Sri chat-nya Bryan”. Kata Ayahku.


**


Ayahku selalu menanyakan hubunganku dengan Bryan tapi aku merasa tidak cocok dengannya hingga akhirnya aku putuskan untuk bilang kepada Ayahku kalau aku tidak suka dengannya. Menurutku kalau dari awal tidak suka pasti seterusnya juga tidak akan bagus hubungannya. Tetapi Ayahku berpendapat lain. Dia merasa karena aku belum jalan dengannya jadi belum tahu lebih dalam. Dengan kejadian itu kakakku yang perempuan yang sudah berkeluarga ikut memberi saran padaku untuk mencoba terlebih dahulu. Aku tidak terima dengan pendapat Ayahku dan kakakku sehingga aku mencoba mencari yang lain ddengan mencoba aplikasi jodoh yang mana kita bisa memilih sesuai yang kita inginkan.


Pada berjalannya waktu, akhirnya aku menemukan yang cocok denganku dan berkenalan dengannya. Namanya Dendy. Aku dan dia memiliki kesamaan dalam selera musik.  Dari situlah kami merasa nyambung satu sama lain dan berlanjut ke telepon. Setiap malam kami pasti telponan menceritakan apapun yang sedang terjadi sekarang dan kegiatan apa yang sedang dikerjakan. Dia beda umur 5 tahun dariku. Aku memang senang dengan yang lebih tua dariku karena merasa dibimbing dan dilindungi.


Pada akhirnya kami ketemuan. Kebetulan tempat tinggal kami sama yaitu di Depok. Kami bertemu di Alun-alun dan melakukan olahraga pagi di sana. Karena ini adalah pertama kali kami ketemuan jadi kami menandai dengan warna baju dan janjian di satu tempat yang mudah ditemukan yaitu jogging track yang terdapat patung singa.  Aku melihat dari kejauhan dan bertanya-tanya apakah benar dia orangnya.


“Hai. Kamu Srinyila ya?”, seorang lelaki memanggilku dari belakang dan menepuk punggungku.


Karna aku takut itu orang jahat jadi aku hanya diam sebentar tidak langsung menengok ke belakang dan perlahan aku membalik badanku.


“Kamu Dendy?”, langsung kutanya padanya.


Ternyata yang kulihat dari kejauhan itu bukan dia dan orang yang menepukku dari belakang itu adalah orangnya. Akhirnya kami mulai berolahraga kecil. Berolahraga satu putaran sambil mengobrol seru dan membicarakan orang di sekitar. Di hatiku langsung terasa kenyamanan dan seperti ketemu dengannya sudah berkali-kali. Apapun itu yang dibicarakan kami selalu nyambung dan menutup hari itu kami makan bubur di pinggir jalan Alun-Alun.


Denny berkata, “Menurutmu kita ketemuan lagi gak? Jangan-jangan melihat penampilanku jadi tidak mau ketemu lagi dan besoknya kamu hilang dan tidak chat aku lagi”.


“Ih apaansih… Kita ketemuan lagilah pasti”, kataku membalas bercandaannya.


“Oke kabari ya kalau sudah sampai rumah”, kata Dendy.


“Oke pasti”, kataku.


Setiap weekend kami jadi sering jalan dan pada pertemuan ketiga dia menceritakan sejujurnya padaku tentang pekerjaannya dan keluarganya. Kami ketemuan di Mall daerah Depok dan di sana kami berbincang-bincang bersama. Dendy hanyalah seorang pekerja swasta biasa yang gajinya kecil dan dia juga suka mencari biaya tambahan untuk hidupnya dari menjual pakaian setiap malam di pasar malam yang suka diadakan di kampungnya di setiap hari Kamis. Orangtuanya hanya pekerja biasa. Bapaknya bekerja sebagai satpam di pabrik dan Ibunya penjual nasi di rumahnya. Aku mendengarnya itu biasa saja. Karena banyak teman-temanku yang memiliki kondisi seperti itu. Dia baru saja menyelesaikan kuliahnya dengan biayanya sendiri. Aku suka kagum dengan hal seperti itu karena dia tidak menyesali keadaan tapi masih mau punya keinginan untuk maju  yaitu kuliah.


Perbincangan semakin mendalam dan hari juga sudah semakin malam. Pada akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing. Setiap aku pulang aku pasti ditanyai oleh Ayahku.


“Habis dari mana Sri? Sama siapa?.”


“Dari mall sama temen”, jawabku. Aku langsung ke kamar.


Sebenarnya orang tuaku curiga aku suka pergi setiap weekend dan beranggapan aku lagi dekat dengan seseorang, karena perilaku dan penampilanku berbeda. Rasanya itu yang menjadi kecurigaan ayahku terhadapku belakangan ini.


Bryan masih saja menghubungiku tapi tetap aku hiraukan. Lalu aku dengan Dendy semakin intens bertemu. Pada akhirnya kita bertanya satu sama lain.


“Hm, sebenarnya kita ini hubunganya apa ya?”, kataku.


“Kenapa kamu tanya begitu?”, kata Dendy.


“Iya aku bingung aja kita kalau manggil pake sayang-sayangan”, kataku padanya.


“Hm.. terus kamu mau kita jadian? Yaudah kamu mau jadi pacar aku Sri?,” Dendy yang langsung bertanya spontan padaku. Lalu suasana hening. Aku terdiam dan sambil bertanya pada diri sendiri apakah dia serius.


“Pertanyaanku salah ya? Jadi hening gini”, Dendy bertanya padaku.


“Iya aneh aja, ini serius ga sih?”, aku membalasnya.


“Beneran. Aku serius”. Kata Dendy.


Akhirnya kami memutuskan jadian tepat pada tanggal kemerdekaan Indonesia yaitu tanggal 17 Agustus. Aku benar-benar senang akhirnya aku menemukan pendamping yang aku sukai. Sampai akhirnya kuperkenalkan dia ke orangtuaku.

 


***

 

Pertemuan antara Dendy dan orangtuaku tiba. Kusarankan dia memakai baju yang rapih untuk kesan pertamanya. Lalu dia datang dan masuk ke dalam rumahku dan berkenalan dengan orangtuaku. Seperti biasa orangtuaku bertanya pekerjaannya apa dan tinggal di mana. Kuperhatikan pertemuan pertama ini lancar tapi aku tidak tanya pendapat orangtuaku mengenai Dendy. Orangtuaku juga tidak  mengomentari apa-apa mengenainya jadi kurasa semua aman.


Pada suatu ketika Ayahku mengajak ngobrol padaku.


”Apakah kamu serius dengan si Dendy? “. 


Lalu kujawab dengan tegas, “ iya Sri serius dengannya”. 


Lalu Ayahku menyodorkan laki-laki lagi dari anak temannya yang lain yang memiliki pekerjaan yang sudah bagus yaitu di pertambangan. Kalau dibandingkan dengan si Dendy memang jauh banget tapi aku sudah nyaman dengannya dan aku juga dari dulu tidak nyaman dengan orang level menengah atas. Aku punya rasa ketakutan tersendiri dengan orang-orang kaya yang memiliki kegilaan dengan dunia fantasi ini. Aku takut diperlakukan tidak seenaknya.


Aku senang dengan Dendy karena setiap ada masalah kami bisa bicarakan bersama secara dewasa. Dan akhirnya aku gantian bertemu orang tuanya. Orang tuanya yang begitu ramah dan baik. Mereka tinggal di gang kecil dan di kontrakan petak. Dendy anak terakhir dan semua kakaknya sudah menikah. Memang kondisi tempat tinggalnya berbeda sekali dengan rumahku tapi aku tidak keberatan dengan itu. Hubungan kami semakin seru dan orangtua kami masing-masing saling  mengetahui.


Kadang dia menjemputku habis dari pulang kerja dan kadang dia mengantarnya. Aku juga suka membantunya berjualan di pasar malam dekat rumahnya. Kedekatan ini membuat kami yakin untuk ke jenjang yang lebih serius jadi kami putuskan untuk menabung bersama.   


Suatu ketika Ayahku mengajak kami untuk jalan-jalan bersama yaitu pergi ke Anyer. Tidak menginap. Hanya pulang sehari. Jadi kami berjalan hanya orangtuaku, aku dan Dendy. Kakak-kakakku kebetulan tidak bisa ikut. Kami makan bareng dan bermain pantai di sana sambil Dendy bergitaran di bawah pohon. Sepulangnya dari sana kami mampir ke tempat makan lagi untuk makan malam dan di sana terdapat lapak jual oleh-oleh. Kami beli beberapa barang dan orang tuaku membagikan juga ke Dendy. Dendy sangat senang pada hari itu karna bisa lebih dekat dengan keluargaku dan akupun juga begitu. Orang tuanya Dendy juga senang sudah diberi oleh-oleh dari keluargaku. Begitu hari yang penuh berarti dan berkesan.


Keesokannya aku dan ayahku makan di luar berdua untuk makan siang. Ibuku pergi reunian dengan temannya dan seperti biasa kakak-kakakku sudah memiliki kesibukannya masing-masing. Tiba-tiba dia menanyakan hubunganku dengan si Dendy.


“ Kamu dengan Dendy serius Sri”,  Ayahku berulang kali lagi menanyakan pertanyaan yang sama.


“Iya, serius.“, kujawab pertanyaan Ayahku. Dengan hening dan menarik nafas Ayahku mengeluarkan suara beratnya dan menceritakan sesuatu.


“Kalau Ayah boleh jujur, waktu kita jalan-jalan kemarin Ayah tidak suka dengan penampilannya. Dari rambutnya, pakaiannya, sepatunya seperti terlihat orang yang rendah ya. Memangnya kamu gak malu sama sepupumu yang lain yang menikah dengan orang-orang yang bagus dan kaya? Ingat pernikahaan itu tidak mudah ya Sri jadi saran Ayah, coba Sri pikirkan lagi. Setiap dia datang ke rumah juga terlihat lusuh pakaiannya.”


“Ibumu juga bilang, ‘Sri kok bisa-bisanya memilih lelaki yang tampang juga tidak bagus dan kerjaan juga biasa saja, Apa yang Sri sukai dari Dendy ya?’. Kemarin Ayah sengaja mengajak jalan-jalan karna ingin tahu dia itu sebenarnya bagaimana. Dari cara bicaranya juga tidak terlihat orang yang akan maju ke depan. Ayah tidak akan minta Sri cepat menikah lagi. Cari yang terbaik buat Sri sampai dapat”. Dengan pelan dan halus dia menceritakan keluh kesahnya yang begitu menyakitkanku.


Aku menjadi tidak nafsu makan, makanan yang sudah selesai dibuat akhirnya dibungkus dan dibawa pulang. Di saat itu aku hanya bingung bagaimana membalas pernyataan ayahku. Hanya air mata yang menetes di pipiku dan aku terdiam.




***


Rasa gundah dan gulana terus menghantuiku. Keraguan dan pertanyaan serta kekhawatiranku terus bermunculan di kepalaku. Aku benar-benar bingung cerita pada Dendy tapi aku juga tidak bisa meneruskan hubungan ini kalau orangtuaku tidak suka. Aku percaya restu orangtua itu paling terbaik. Di satu sisi aku terpikir apakah aku bisa mendapatkan lelaki seperti Dendy. Memang kuakui waktu kita jalan-jalan penampilannya berantakan seperti pengamen di jalanan ditambah dia membawa gitar tapi aku tidak melihat itu jadi kuhiraukan.


Di saat itu aku sengaja tidak membalas chat-nya Dendy dan saat dia telpon aku tolak. Aku hanya chat sekali untuk bertemu di hari Sabtu karna ada yang ingin kuceritakan padanya. Seminggu lamanya aku menangis dan tidak fokus bekerja hingga pada akhirnya aku ambil cuti dari Rabu sampai Jumat sambil menenangkan pikiranku yang sedang kacau ini. Aku di rumah hanya diam dan memikirkan bagaimana untuk cerita pada Dendy. Apakah dia akan terima dengan pernyataan ini? Aku juga capek air mataku tidak henti-hentinya keluar.


Aku selalu terbayang dengan kata-kata Ayahku yang aku tidak bisa terima. Mengapa dia bisa menilai itu semua dari penampilan? Mengapa dia bisa melihat itu hanya dengan sesaat dari sudut pandang penglihatanya saja? Aku tahu dia belum tahu Dendy lebih dalam jadi dia hanya menilai dari penampilan. Aku mulai mengingat-mengingat lagi penampilannya Dendy saat jalan-jalan itu. Sepatu yang dia pakai sudah wajar. Baju dan celananya juga sudah wajar. Memang yang kurang adalah tampangnya yang kurang menawan jadi apapun yang dia pakai akan terlihat jelek dan salah. Atau sebenarnya memang Ayahku dari awal memang tidak suka dengannya jadi apapun yang Dendy pakai akan terlihat salah.


***


Hari Sabtu telah tiba. Aku meminta Dendy untuk tidak jemput aku dan kami langsung ketemuan di sana. Rasa gugup dan takut terus bermunculan dan air mataku juga tidak bisa ditahan. Kami ketemuan di Mall yang kita suka kunjungi. Dendy sudah sampai duluan dan duduk di Food court.


“Hi”, kusapa dia dengan rasa gelisah. Aku lihat dia membawa bungkusan dan kutanya padanya.


“Apa itu?”.


“Ini buat orang tuamu dan ini kotak kecil buat kita makan berdua ya”, kata Dendy. 


Aku mendengar kata-katanya itu membuatku tersentuh dengan kebaikannya itu. Dia membawakan kue yang paling disukai keluargaku dan itu membuatku tidak tega untuk menceritakan sebenarnya.


“ Hm, kamu ingatkan aku mau cerita waktu ku WhatssApp?”. Aku berkata.


“Iya kamu mau cerita apa ya? Kok aku jadi takut ya.” Denny bertanya dengan keheranan.


“Aku lewat WhatsApp aja ya, gak kuat aku kalau ngomong langsung”. Aku menjawab dengan rasa ketakutan dan cemas.


Di WhatsApp itu kuceritakan apa yang Ayahku ceritakan padaku. Dan pada akhirnya dia membaca tapi dia malah mengajakku jalan. Mungkin dia tidak mau ini semakin menjadi memperkeruh suasana sambil menenangkan pikiranku juga.  Kita jalan menuju tempat makan yang kita sukai. Sambil kita jalan dia tiba-tiba membuka pembicaraan.


“Iya menurutku kalau orangtuamu tidak suka ya bagaimana ya. Karena restu orangtua paling penting”. Aku agak sedikit lega dan masih cemas.


“Terus ada yang dibicarakan lagi  selain yang kamu chat tadi?” Dendy bertanya. Aku mau ceritakan lagi tapi aku terlanjur meneteskan air mata, sehingga kami langsung ke tempat makan dan tidak membahas itu dulu.


Sesampainya di tempat makan kami menikmati hari-hari  seperti biasa dan tidak membahas hal itu dulu. Kami tertawa seperti tidak ada masalah. Lalu kami lanjut ke tempat yang lain yaitu tempat duduk yang lebih nyaman  sambil menikmati minuman boba. Lalu dia membuka pembicaraan kembali.


”Di satu sisi ini menyakitkan sekali buat aku. Aku takut nanti kalau mereka melihat orang tuaku, orangtuamu akan menghina orangtuaku. Cukup aku saja yang diperlakukan seperti itu. Tapi jujur ini berat sekali karna aku masih sayang sama kamu. Aku masih ingin jalan-jalan sama kamu, video call-an sama kamu, telponan sama kamu.”


Kulihat matanya sudah berkaca-kaca sambil menahan air mata. Aku yang mendengarnya merasa tidak tega dan air mataku keluar lagi. Ternyata ketakutanku dengannya sama. Aku benar-benar takut sampai orangtuanya diremehkan dan itu membuatku yang tidak enak pada keluarganya. Lalu dia menyeletuk, “Padahal orangtuaku sudah berharap sama kamu tahu”. Aku semakin tidak kuat mendegar kata-kata tersebut.


Lalu kami terus berdiskusi bagaimana jadi lebih baiknya. Dan dia menjelaskan seperti apa buruknya kalau hubungan ini dilanjutkan hingga pada akhirnya kami sepakat untuk menyelesaikan hubungan ini dengan baik-baik dan tetap menjadi teman baik. Perpisahan terakhir ini aku habiskan dengan sebaik-baiknya dengan air mata bercucuran. Lalu kami berkeliling sebentar hingga pada akhirnya kami berpelukan terakhir kalinya. 


Dia cerita kalau dia akan pindah  ke Bandung pada bulan depan karena ditugaskan dari kantornya untuk kerja di sana.  Aku tidak mengerti apakah ini jalan terbaik yang sudah diatur oleh Tuhan, tetapi aku yakin dia akan sukses tapi memang butuh waktu. Kami sama-sama berdoa andai kalau kami jodoh pasti kami akan dipertemukan kembali. Dan pada akhirnya aku akan fokus pada karirku dan tidak mau terburu-buru untuk menikah. 


TAMAT


Cerita ini ditulis oleh Nidya Putri Asih, berdasarkan pengalaman pribadinya. 
Pernah diiutsertakan untuk lomba menulis cerpen pada bulan Januari 2022. 
Disunting oleh Gunadi Renji dan sudah mendapat izin untuk dimuat di blog ini. 


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner