Berapa banyak tempat wisata di Jakarta yang asyik untuk bersepeda? Mungkin gak banyak. Dari sedikitnya tempat yang ada, kawasan wisata Ancol layak masuk dalam daftar. Kawasan yang terletak di pesisir kota Jakarta ini menyuguhkan paket lengkap; pedestrian pinggir pantai yang nyaman, spot foto Instagram dan aneka akitivitas lain yang bisa kita pilih.
INTRO
Sabtu, 6 Januari 2018 merupakan tanggal dimana gue dan Dennis kembali bersepeda setelah terakhir kali kami bersepeda bersama ke Bogor pada pertengahan 2017 lalu. Bedanya kali ini gue pake sepeda lipat sendiri. Bukan Dahon, apalagi Brompton. Cuma merk lokal aja. Dengan sepeda sendiri gue gak perlu lagi ke tempat Dennis. Cukup janjian di stasiun kereta. Stasiun Duri menjadi titik temu antara kami untuk melanjutkan perjalanan ke Stasiun Kampung Bandan untuk transit kemudian lanjut ke Stasiun Ancol.
Lantai atas Stasiun Duri udah bisa dipakai. Dennis yang sampai duluan nunggu gue di situ. Katanya tempatnya Instagrammable banget. Omongannya bisa dibuktikan setelah gue sampai di lantai atas meskipun ternyata gue gak harus ke atas. Gak harus pindah peron buat naik kereta ke arah Kampung Bandan. Ya gak masalah sih. Toh ternyata pas gue ke atas itu memang asyik tempatnya. Entah karena baru, entah karena agak sepi aja.
Keren kan |
Perjalanan ke Kampung Bandan lancar jaya. Stasiun yang semula kami jadikan sebagai tempat transit kini kami jadikan tujuan akhir karena setelah dipikir-pikir jarak antara Kampung Bandan dengan Gerbang Barat Ancol cukup dekat. Daripada nungguin kereta arah Tanjung Priok yang jarang lewat, mending turun di Kampung Bandan. Bisa save waktu dan dapet cerita. Melenceng dari rencana tapi gak melenceng dari tujuan utama. Itu kan intinya dari bertualang. Agar mendapat sebuah pengalaman yang seru dari sesuatu yang gak kita siapkan.
EKSPLORASI
Gerbang Barat Ancol ngasih gue kenangan ke acara Nakama Festival saat kami terlibat dalam acara yang berujung drama ini. Gerbang inilah yang menjadi pintu masuk kami. Sempat kebingungan juga untuk masuk lewat mana karena gak ada informasi kalau sepeda boleh masuk dari gerbang utama (yang sebenarnya diperuntukkan mobil dan motor) atau enggak. Kami memutuskan masuk lewat pintu perorangan dan melipat sepeda kami. Yang baru kami ketahui adalah pesepeda bisa masuk lewat gerbang itu dan hanya dikenakan biaya orang. Biaya masuk perorang sebesar Rp. 25.000. Dengan membayar dua tiket masuk kami sudah ada di dalam kawasan wisata Ancol dan mulai menjelajahi area-area yang ada.
Area pertama yang kami lewati adalah gerbang depan Dufan. Cuma lihat-lihat aja. Dari situ kami lurus menuju area Eco Park dan Pasar Seni. Sebelum lewat Eco Park kami melewati sebuah landmark besar bertuliskan kata ‘DUFAN’. Landmark yang tampaknya baru dibuat ini menjadi tempat pertama yang kami pakai untuk berfoto-foto. Karena masih pagi dan sepi jadi kami bisa cukup puas untuk berfoto-foto tanpa merasa terganggu maupun diganggu orang lain. Tak lama ketika kami mau pergi ada mobil yang menepi yang rasanya ingin melakukan hal yang sama; berfoto.
Landmark yang kayaknya baru dibikin |
Eco Park menjadi tempat kami berhenti berikutnya. Adanya replika dinosaurus membuat kami merasa ingin mengabadikannya. Membawa sepeda membuat kami bisa lebih fleksibel untuk berhenti dan melaju. Hanya perlu pasang standar aja. Sesuatu yang agak ribet kalau kita naik motor atau mobil.
Tinju Bintang Utara |
Melaju sedikit dari Eco Park ada Pasar Seni Ancol yang juga menjadi tempat kami untuk eksplorasi sambil nyari makanan buat sarapan. Gue gak tau kenapa yah, kayaknya Pasar Seni Ancol itu salah satu yang paling sepi dibandingin area lain yang ada di Ancol. Iya gak sih? Gue gak pernah liat area ini begitu ramai. Apa karena isinya monoton? Atau apresiasi orang terhadap seni begitu kurang? Orang lebih suka berada di bawah payung warna-warni untuk foto-foto dibanding melihat karya seniman yang ada di dalam situ. Gitu kah?
Man vs Beast |
Lanjut ke cerita. Kami lanjut gowes ke arah apa sih tuh,, Eco Walks yah? Atau Eco Island? Area asyik banget yang bisa dipakai buat sejenak menghirup udara segar. Keinginan itu menjadi batal karena kami dicegat sama petugas yang mengatakan bahwa untuk membawa masuk sepeda sendiri dikenakan charge sebesar Rp. 30.000. Kami urung. Uang segitu mending buat makan.
Lapar di kawasan Ancol gak perlu takut karena di sini banyak aneka restoran yang siap disambangi. Solaria, Pizza Hut, A&W, Bandar Djakarta, sampai Seaside Suki ada di sepanjang Pantai Carnaval Ancol. Belum lagi nama-nama resto atau cafe kayak The Pier (yang namanya kami plesetkan menjadi nama populer dari buah zakar pria).
Tujuan utama kami sebenarnya adalah KFC. Tapi pas nanya ke petugas yang ada di jalanan, dia bilang yang ada cuma A&W (yang gue plesetin jadi ‘American Warteg’). Pizza Hut jadi solusinya karena dia punya tempat buat parkir sepeda. Itu lho, stand yang buat naro sepeda. Jadi bukan pure area parkir. Yaudah kami makan di situ. Breakfast sekaligus lunch. Brunch. Masing-masing dari kami pesen sensasi delight double. Maksudnya biar ngasih energi lebih sampai sore nanti. Agak lama kami di sini karena selain tempatnya yang cozy, gue juga nunggu adzan Dzuhur dan kebetulan di tempat ini ada musholla-nya. Gue bilang tempatnya cozy karena gue ngambil area outdoor dengan pemandangan geladak yang langsung menatap ke laut. Angin alam di area outdoor ini lebih berasa damai dibanding area dalam yang sejuk karena AC. Dan lagi di area belakang itu cuma ada kami berdua aja. Karena kami datang sebelum makan siang. Berasa private aja gitu. Terasa satu area itu gue booked khusus buat kami berdua. Kami sempet gitaran juga di sini. Gue bawa guitalele gue yang secara portabilitas memang sesuai untuk traveling.
**
Perut sudah terisi, kewajiban sudah dilaksanakan, saatnya melanjutkan perjalanan.
Kami melaju ke arah ABC alias Ancol Beach City. Mall yang ada kawasan pasir putihnya gitu. Sepanjang perjalanan kami melihat banyak keluarga yang sedang melakukan berbagai aktivitas. Kebetulan hari Sabtu kemarin hari-hari liburan terakhir karena anak sekolah udah harus masuk lagi. Jadinya memang agak rame.
Sebelum masuk ABC kami liat ada arah ke geladak gitu. Kayaknya itu baru deh. Masih ada beberapa mamang-mamang yang lagi melakukan pekerjaannya gitu. Geladak ini cukup luas. Nyaman untuk bersepeda maupun berjalan kaki dengan pemandangan laut dan pasir putih yang kayaknya itu tuh sebuah proyek reklamasi. Anyway kami sempet foto-foto dulu di sini.
Superman punch! |
Sepi |
Kami gak bener-bener ngelintasin geladak itu seutuhnya. Sengaja. Biar kami jadikan arah jalan pulang dari ABC. Kami ke ABC dulu sekalian nostalgiaan. Dulu gue sama Dennis dan anak-anak Cielers Tangerang (pas lagi kompak-kompaknya) sempet ke sini di tahun 2012 akhir. Semacam pertemuan akhir buat perpisahan si Jodi Melani yang pergi ke Jepang untuk jangka waktu yang lama.
ABC itu asyik sih. Di sini gak serame di area tengah yang gue lewatin tadi. Mungkin karena posisinya yang ada di ujung jadi banyak orang yang gak tau atau males buat ke ujung. Sepeda kami kunci dan biarkan di area pedestrian sementara kami duduk di kursi di pasir putih sambil menikmati musik, pemandangan, dan tingkah laku orang-orang. Agak ngeri buat bawa sepeda ke dekat kami. Khawatir pasir-pasir putih itu masuk ke rantai atau bagian sepeda lainnya yang bisa berakibat buruk terhadap sepeda kami.
Sepeda, manusia, pasir, air |
**
Puas di sisi Timur, kami gowes lagi ke arah Barat lewat rute geladak yang tadi sempet gue bahas sebelumnya. Setiap sisi yang memungkinkan untuk kami lewati kami coba. Termasuk geladak menuju cafe Columbus. Di sekitar sini gue mulai melihat banyak pasangan. Entah pacar beneran, entah selingkuhan, entah TTM-an.
Di samping Columbus Cafe itu pas kami lagi menikmati pemandangan tiba-tiba ada orang asing yang numpang foto dengan menaiki sepeda gue. Sepeda gue bagus kali yah? Ahaha.. Atau karena mereka bosan dengan pose yang monoton dan gak punya property buat foto. Ah, gua lupa ngasih tau kalau di Ancol kita bisa sewa sepeda. Tapi bukan sepeda lipat sih. Sepeda gede gitu. Merk United kalo gak salah. Ada sepeda tandem juga. Gue gak tau berapa harga sewa masing-masing sepeda dan apa aja persyaratannya. Satu hal yang paling gampang mengidentifikasi sepeda itu sepeda sewaan adalah warnanya yang sama; hijau putih.
Geladak demi geladak, aspal demi aspal, pesisir demi pesisir kami lewati sampai membawa kami ke sisi Barat, letak dari Pantai Festival. Agak sepi kalau di sini. Gak ngerti kenapa. Tujuan kami ke sini adalah buat naik gondola. Pengen tau aja sih. Gue jarang ke Ancol dan belum pernah sekalipun naik gondola.
Gondola yang ada di Ancol tarifnya Rp. 65.000. Tapi karena kemarin pakai sepeda, kami sempet khawatir dengan keamanan sepeda yang mesti ditinggal. Jadinya kami batalin aja. Nunggu kesempatan berikutnya. Ramean lebih seru kali yah.
**
Tujuan akhir dan terlama adalah menunggu senja. Tempat yang kami tuju adalah dekat area Seaside Suki. Sambil menunggu senja kami isi dengan kegiatan gitaran. Selain guitalele gue juga bawa marakas gitu. Harusnya ada satu alat musik lagi yang dibawa. Sayangnya si Dennis lupa bawa harmonika dia. Tapi gak apa-apa. Lagu-lagu classic rock dari Bon Jovi, Skid Row, Aerosmith jadi lagu-lagu yang dibawain sore itu. Beberapa peristiwa mengiringi saat kami bernyanyi.
Misalnya debat antara benda mengambang yang ada di belakang kami. Itu kotoran atau daun kering yah. Tapi ada bau-bau gitu. Terus ada juga orang lalu lalang. You know lah obrolan cowok kalau liat cewek cakep kayak gimana. Ada segerombol (tampaknya WNA) yang cewek-ceweknya cuakeep banget. Beuh... Langsung nyanyiin lagu ‘Hey Cantik’ milik Shaggy Dog. Oh ada tante juga yang weeewwwww.... Auuuuuuuu.... Rrrrrr.... (apaan dah xD)
Oke, lupakan.
Peristiwa lain adalah adanya seorang anak yang minjem pompa ke kami setelah sebelumnya ada oma-oma yang ngobrol sama kami. Katanya dia nyari anak/pemuda tanggung yang mau ngejagain anak/cucu si oma buat main sepedahan karena belum terlalu bisa. Ternyata anak yang minjem sepeda itu adalah orang yang dicari si oma. Gak tau dapet berapa duit tuh anak.
Kami juga ngeliat ada segerombol peseli yang ngelewatin kami. Horrang kaya mereka.. Gimana gak kaya, mereka semua naik Brompton njir. Silahkan cari sendiri kisaran harga sepeda lipat merk Brompton. Jauh banget sama sepeda gue. Si Dennis masih mending, apalagi udah upgrade sana-sini. Lah gue.... Serbuk Nutrisari.
Kami saling tegur sih sama rombongan itu. Sebatas nganggukin ketawa sambil senyum. Untungnya dibales. Gue gak tau apakah di dunia perselian ada yang namanya diskriminasi terhadap peseli dengan sepeda merk gak terkenal. Tapi si Dennis pernah cerita waktu dia pakai Polygon dan menyapa seorang peseli merk Brompton atau Dahon gitu, lupa, dicuekin njir.. Gimana gue yang cuma pake merk lokal dan upgrade minor. Itupun warisan dari si Dennis. Hu hu hu....
**
Senja tidak datang hari itu. Terlalu malu untuk menampakkan dirinya. Kami bergegas untuk pulang selepas Maghrib. Sesaat ketika parkir untuk sholat, di sebelah kami ada gerombolan remaja yang ingin meminjam guitalele yang gue bawa. Sekelompok remaja berpasangan. Mengingat gue gak kenal mereka dan mereka terlalu muda untuk bisa bertanggungjawab, gue tolak dengan alasan gitarnya fals.
Para remaja itu bukan yang pertama yang minjem instrument itu ke gue. Pas gue di geladak Colombus Cafe ada sekumpulan orang di cafe itu yang ingin nyewa gitar gue. Gue jelasin kalau gitar ini bawa sendiri terus dia berniat buat nyewa. Gue tolak karena gue emang udah mau cabut. Sekarang gue paham. Ternyata kalau ke pantai, gunung, atau tempat wisata alam itu emang paling tepat kalau kita bawa gitar. Gue lakuin itu juga pas wisata ke Untung Jawa. Terasa beda pas gue gak bawa gitar ke Pulau Cipir, Kelor, dan Onrust. Terasa kosong aja gitu. Guitalele jadi jawaban karena muat dibawa. Dia muat buat dibawa pake bagpack maupun totebag gue. Kemungkinan akan gue bawa guitalele ini pas gue ke Belitung bulan Mei nanti.
PENUTUP
Kami berpisah di Stasiun Duri. Gue harus ke pindah ke Tangerang sedangkan Dennis mesti transit di Tanah Abang buat lanjut ke Rawa Buntu. Menyisakan beragam agenda lain dan tempat lain yang ingin dicicipi untuk bersepeda. Beberapa tempat yang masuk agenda adalah TMII, sekitaran UI, Bandung, dan Purwakarta. Entah mana yang akan terealisasi. Semoga aja makin banyak cerita yang bisa gue share dari tiap perjalanan ini.
Salam satu pedal.
Foto lainnya :