*Label Campus Life adalah label untuk tulisan berseri yang saya buat. Isinya menceritakan lika-liku dan haru biru tentang pengalaman selama kuliah di Universitas Mercu Buana, Meruya, Jakarta untuk prodi Public Relations yang masuk ke dalam Fakultas Ilmu Komunikasi.
Menjelang UTS tahun 2017 ada peristiwa yang merubah sistem belajar mengajar di UMB. Peristiwa itu adalah dihapusnya sistem tatap muka di hari Minggu.
**
Biasanya dalam satu semester akan ada 4 kali pertemuan tatap muka untuk mata kuliah e-learning. Minggu pertama, minggu kedua, minggu ke-7 menjelang UTS dan minggu ke-14 menjelang UAS. Ditambah UTS dan UAS yang dilakukan di hari Minggu, total kegiatan yang dilakukan dalam satu semester adalah 6 kali pertemuan.
Sekarang sistem itu udah dihapus. Bukan keinginan pihak Mercu. Kayaknya ini dari DIKTI langsung yang melarang kampus ada aktivitas belajar mengajar di hari Minggu. Pihak Kampus mesti ikut aturan ini karena memang aturannya begitu. Akreditasi A yang dimiliki UMB menjadi pertaruhan kalau sampai melanggar apa kata DIKTI.
Pengganti dari tatap muka di hari Minggu itu adalah adanya kelas asistensi di hari biasa. Dilakukan menjelang UAS dan UTS. Awalnya gue pikir sistemnya sama dengan tatap muka. Artinya kehadiran kita memang dicatat saat kita hadir di kelas. Tapi pas mata kuliah Etika Profesi PR gue baru tau kalau kelas asistensi ini gak mempengaruhi kehadiran karena kehadiran dinilai berdasarkan apakah kita mengerjakan forum dan quiz mata kuliah e-learning di minggu tersebut. Dinamakan asistensi karena untuk membantu nilai bagi yang kurang. Satu keuntungan lainnya yah dikasih kisi-kisi menjelang ujian. Karena tau gak masuk dalam kehadiran, kadang mahasiswa males buat ke Kampus.
Sebenernya agak kasian juga sih. Pulang kerja, nembus macet-macetan, terus harus ke Kampus buat ikut ujian. Tapi mau gimana lagi. Namanya juga aturan. Makanya pas UTS atau UAS matkul e-learning banyak yang wajahnya udah gak fresh, outfits masih pake outfits kantor. Beda banget sama waktu tatap muka Minggu.
Temen angkatan gw, Hari, bilang kalau sistem kayak gini bikin susah mahasiswa karena pertimbangan jarak dan traffic yang sering terjadi ketika jam pulang kerja. Jarak dari Kuningan ke Meruya yang harus ditempuh sudah membuat Hari ngerasa lelah fisik dan pikiran. Dan itu harus lagi dibuat lelah dengan soal-soal ujian ketika UTS dan/atau UAS.
Lain Hari lain juga Melly. Melly yang bekerja di daerah Grogol mengaku bahwa jarak menuju kampus Meruya bisa sampai 2 jam saat membawa mobil setelah jam pulang kantor. Menurutnya hal ini membuat pembelajaran menjadi gak efisien. Lebih jauh Melly mengatakan kalau aja dia tahu sistem ini diberlakukan sedari awal, Melly bisa aja gak memilih Mercu.
Ternyata beban yang sama juga dirasakan oleh dosen. Salah satu dosen yang gw wawancarai yaitu Ibu Rahmah Ningsih yang pernah ngajar gw di matkul Pendidikan Agama Islam waktu di semester 1. Beliau ngaku kalau dirinya merasa keberatan karena waktunya yang gak efisiesn. Yang seharusnya bisa mengajar 3 kelas dalam satu hari kini harus dibagi dalam 3 hari. Gak efisien dari segi waktu, energi, dan biaya.
**
Tidak Mempengaruhi Kehadiran
Waktu masih ada pertemuan di hari Minggu, setiap mahasiswa yang hadir maka akan dicatat kehadirannya. Di kelas asistensi ini kehadiran kita gak mempengaruhi apapun kecuali menambah nilai buat mereka-mereka yang dirasa kurang secara nilai. Misalnya nih nilai kita udah sakaratul maut gara-gara gak ngerjain tugas atau gak bisa ngejawab kuis dengan baik maka kehadiran kita di kelas asistensi itulah yang bisa ngebantu nilai kita. Makanya dinamakan kelas asistensi.
Dan konon kehadiran mahasiswa di kelas itu mempengaruhi gaji/bonus/tambahan jam belajar dari dosen. Gw gak tau kabar ini bener atau enggak tapi yang jelas hal ini jadi terasa kurang fair buat dosen. Karena kalau misalnya kelas diadakan dan dosen masuk tapi mahasiswanya kompakan gak masuk ke kelas maka si dosen itu gak dapet gaji/bonus/tambahan jam mengajar. Yah semoga kabar ini gak bener yah.
Sebuah Peraturan
Oke, Melly mungkin kurang tau kalau kebijakan ini bukan keinginan Mercu melainkan sebuah peratuan dari Menristek DIKTI yang melarang segala kegiatan belajar mengajar diadakan di hari Minggu. Dan karena ini peraturan jadinya gak cuma Mercu yang menerapkan peraturan ini. Kampus lain juga sama. Gak ada kegiatan belajar mengajar di hari Minggu.
Gw coba nyari berita tentang larangan ini dan berujung pada landasan yang dipakai sebagai dasar diberlakukannya aturan ini. Awalnya Kopertis Wilayah III mengeluarkan edaran perihal larangan penyelenggaraan kelas jauh tapi akhirnya kelas Sabtu-Minggu juga jadi ikut kebawa. Bisa diliat di surat No: 002/K3/KL/2013 tertanggal 14 Januari 2013. Sedangkan di surat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 1506/D/T/2005 disebutkan bahwa kelas Sabtu-Minggu bukanlah terminologi resmi Departemen Pendidikan Nasional. Kalau mau ditambahin maka surat edaran Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 595/D5.1/T/2007 bisa dijadiin acuan. Disebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan kelas Sabtu-Minggu adalah melanggar norma, kaidah dan kepatutan akademik.
Dan Mercu yang akreditasinya udah mencapai akreditasi A harus mau menuruti peratuan ini.
Politik Pendidikan
Gw slalu berpikir kalau peraturan ini semacam politik di dunia pendidikan. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kalau misalnya kelas Sabtu-Minggu ditutup otomatis para pekerja yang ingin memperdalam ilmunya hanya bisa megikuti kuliah malam. Masalahnya banyak perguruan tinggi swasta yang letaknya berada di jalan besar di Jakarta termasuk Mercu. Rawan macet coy. Kayak yang dibilang Hari, Melly, atau juga Bu Rahmah. Liat aja jalan depan kampus Mercu kalau udah jam pulang kantor itu liar banget macetnya.
Satu lagi, emang kalau lo udah sampe kampus dan ikut pelajaran lo yakin bisa nyerap semua materi dalam kondisi kayak gitu? Emang dosen mampu memberikan materi dengan prima di saat kondisi kayak gitu? Belum tentu men. Rata-rata udah pada capek. Terus karena menghindari hal semacam ini jadinya orang males buat ngambil pendidikan lagi karena peraturan yang dirasa memberatkan ini.
Sebuah Anggapan
Ada anggapan kalau PTS yang ngadain kuliah jauh atau kuliah Sabtu-Minggu adalah PTS yang pengen nyari mahasiswa semata sehingga secara kualitas kelulusan mahasiswanya agak diragukan. Lo setuu gak sama pernyataan itu? Gw sih gak. Karena sebuah universitas yang memiliki akreditas A tentu secara kualitas telah memenuhi standar yang diujikan untuk uji akreditas itu. Masalahnya cuma pada penyelenggaraan pendidikannya aja. Mau malem kek, mau subuh kek, mau Sabtu-Minggu kek, yang penting pihak kampus punya cara dan standar yang ditetapkan sebagai syarat kelulusan yang sesuai dengan akreditas itu.
Kualitas lulusan adalah hal yang mendasari Kopertis bikin surat edaran tentang larangan penyelenggaraan kelas jauh yang berujung pada terbawanya kelas Sabtu-Minggu dalam bahasan. Hal ini karena efek dari banyaknya PNS yang tiba-tiba punya gelar tapi diraguin kualitasya. Kan kuliah jauh atau Sabtu-Minggu gak cuma PNS aja kan yah. Karyawan juga banyak yang pengen kuliah lagi. Coba dong dipikir lagi bai-buruknya peraturan ini biar Pasal 31 ayat 1 bisa diterapkan dengan baik dengan output yang berkualitas.
Solusi
Kalau emang kualitas lulusan yang dijadiin topik utama, maka solusinya adalah mengembalikan ke kampus tentang bagaimana menyiapkan lulusan yang benar-benar unggul bukan pada penerapan jadwal kuliah. Kalau ada penyimpangan, baru deh ditindak. Atau bikin standar kompetensi atau administrasi yang jadi acuan bagi pihak kampus terutama di kelas Sabtu-Minggu. Dari situ bisa keliatan standar kualitas lulusan yang ideal.
Negara kita udah dikenal dengan negara yang ribet alias terlalu banyak birokrasi. Jangan sampai kebijakan ini bikin kita semakin yakin kalau negara ini memang senang membuat birokrasi yang begitu kompleks. Mau pinter aja dibikin ribet.