-->

Senin, 09 April 2018

Backpacker ke Jogja


Sebuah provinsi yang mendapatkan gelar Daerah Istimewa di Indonesia memang memiliki ragam pesona yang menyenangkan dengan ciri khas yang dimilikinya. Tak jarang tempat tersebut jadi tujuan wisata yang dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanagara. Hanya ada 2 provinsi di Indonesia yang sampai saat ini mendapat gelar Daerah Istimewa yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Jogjakarta. Akhir Maret 2018 gue sama teman gue berkesempatan untuk mengunjungi Jogja. Dalam perjalanan itu banyak banget kejadian, peristiwa, dan cerita yang akan dikenang. Cerita backpacker ke Jogja itu akan gue share di sini. Selamat menikmati.

INTRO
Rasanya kita sepakat bahwa Jogja jauh lebih familiar dibanding dengan Aceh meskipun keduanya sama-sama mendapat gelar Daerah Istimewa. Letak geografis yang tidak terlalu jauh dan mudah dijangkau dengan hampir segala moda transportansi ini menjadi point lebih dibanding Aceh. Selain itu, dokumentasi berupa literasi maupun video perjalanan banyak yang mengeksplore Jogja sehingga membuat minat masyarakat untuk mengunjungi Jogja jauh lebih tinggi dibanding Aceh. Kunjungan gue ke Jogja terjadi pada 25-28 Maret 2018. Saat itu gue pergi berdua bareng Ahmad Muslikhun yang juga sama-sama dari Tangerang. And here’s the stories….

Niat ke Jogja sebetulnya sudah sempat terwujud pada tahun 2015. Saat itu gue dan Ahmad pergi ke Bandung kemudian berniat lanjut ke Jogja seorang diri. Namun kepergian saat itu urung terjadi karena orangtua gak ngasih gue izin buat solo travelling di sana.Yaudah akhirnya gue gak jadi ke Jogja meskipun tiket sudah dibeli.

Akhirnya di tahun 2018  ini barulah kesempatan buat backpacker ke Jogja terwujud. Dengan mengendarai kereta ekonomi Bengawan jurusan Pasar Senen – Purwosari dan turun di Stasiun Lempuyangan, gue dan Ahmad anteng selama perjalanan. Kami sengaja naik kereta ekonomi biar lebih hemat. Harga tiket saat itu sekitar Rp.74.000 untuk sekali keberangkatan. Kami langsung beli tiket PP dan bergegas untuk melakukan pembayaran via transfer Bank Mandiri.

HARI 1
Kami sengaja memilih berangkat jam 11.20 agar bisa agak santai saat melakukan perjalanan dari Tangerang. Sepakat bertemu di Stasiun Tangerang jam 8 tapi ternyata gagal terwujud karena di pagi itu sedang ada acara gerak jalan dari lapisan masyarakat sehingga menimbulkan macet. Ahmad yang sudah ada di Stasiun Tangerang gue minta untuk naik duluan dan ketemu di kereta karena angkot yang gue tumpangi mengambil alternatif untuk menurunkan penumpang di Stasiun Tanah Tinggi. Tak lama menunggu di peron, akhirnya gue dan Ahmad ketemu di dalam kereta.

Ternyata untuk turun di Stasiun Pasar Senen kita harus turun di Stasiun Gondangdia terlebih dahulu. Kereta ke arah Jatinegara gak berhenti tepat di Pasar Senen. Jadi kita mesti turun di stasiun berikutnya kemudian nyambung kea rah Bogor. Dari situ kereta berhenti di Pasar Senen. Bagi gue, Stasiun Pasar Senen ini punya kenangan yang cukup berarti.

Setibanya di Stasiun Pasar Senen kami langsung cari loket untuk pencetakan boarding pass. Gue gak ngalamin kesulitan apapun karena memang mudah dan mesin pencetaknya ada banyak. Yang gue cetak cuma boarding pass keberangkatan.Sedangkan untuk pulangnya sengaja baru akan dicetak kemudian pada saat pulang

Sadar akan waktu tempuh yang cukup menyita waktu dan tenaga,kami memutuskan untuk membeli beberapa makanan untuk di perjalanan. Lawson menjadi pilihan setelah melihat stiker promo tentang satu paket makanan seharga Rp. 10.000 – Rp. 15.000. Cukup murah dan lumayan buat ngilangin lapar di kereta nanti. Selain paket nasi itu gue juga beli obat anti masuk angin sebagai antisipasi dan air mineral yang cukup banyak biar gak haus di perjalanan. Jam 10.30 kami memutuskan untuk masuk kembali ke dalam Stasiun. 

***


Ketika kami datang gak lama kemudian kereta yang mau kami tumpangi tiba.Tapi karena di body kereta tertera tulisan Purwosari kami gak ngeh kalau itu ternyata kereta yang harus kami naiki. Kami so cool aja duduk di kursi Stasiun sambil sedikit foto-foto tanpa sadar bahwa kereta yang ada di depan kami itu adalah kereta yang harus kami tumpangi segera. Kenapa? Karena kabin pada kereta itu milik bersama. Khawatir kalau kami gak kebagian buat naruh bawaan kami di kabin karena keduluan sama penumpang lain. Ketika keraguan mulai muncul akhirnya Ahmad menanyakan kepada petugas yang ada di sana dan ternyata betul itulah kereta yang kami tumpangi. Kami berbegas untuk ke dalam kursi kami tapi…..

… kursi kami diduduki oleh orang lain. 

Belum ilang rasa kaget gue,si mas yang duduk di situ langsung bilang ke gue buat ngajakin tukeran kursi. Kursi gue kan di gerbong 2 no 1A dan 1B dituker jadi gerbong 1 no 23A dan 23B. Gue Tanya Ahmad dan sepakat buat ajakan itu mengingat kursi kami ada anak kecil (keluarga si mas) dan dia bawa barang banyak banget. Yaudah tuh gue dipandu sama si mas buat ke gerbong yang akan kami naiki.Setibanya di sana ternyata ada Ibu-Ibu (entah mertua si mas atau orangtuanya) yang nunggu. Jadinya mereka bias sebangku deh tuh. Gue sih gak masalah karena di kursi ini jadi lebih lega tempat duduknya dan deket ke WC. Lebih dari itu, gue masih tetep dapet windows seat. Gue pikir ini sebuah solusi yang win-win solution. Si Mas juga gak lupa buat bilang terima kasih sama kami. 

***

Perjalanan
Selama perjalanan 9 jam itu aktivitas yang kami lakukan sebatas mendengarkan musik, menonton anime, tidur, dan menikmati pemandangan yang tersaji. Kursi kereta ekonomi yang berhadap-hadapan dengan penumpang lain membuat suasana sedikit agak canggung karena gak saling kenal. 

Gue teringat lagu Padi yang judulnya Perjalanan Ini. 

“Kulayangkan pandangku melalui kaca jendela

Dari tempatku bersandar seiring lantun kereta

Membawaku melintasi tempat-tempat yang indah

Membawa isi hatiku penuh riuh dan bermakna”



Oh iya, kita gak perlu khawatir kalau lapar di dalam kereta karena nanti ada crew kereta yang bolak-balik nawarin makanan dan minuman. Karena gue dan Ahmad udah punya bekal sedari Lawson di Pasar Senen, kami gak beli apapun sampai akhirnya setelah Maghrib wangi Pop Mie yang melintas membuat kami membelinya. Harganya cukup bersahabat. Cuma Rp. 10.000. Makan Pop Mie di kereta lumayan bikin kami gak perlu makan malam lagi sesampainya di home stay nanti.

Sampai di Jogja
Sekitar jam 20.30, kereta tiba di Stasiun Lempuyangan. Banyak banget yang turun di Stasiun ini. Kalau dilihat dari outfits dan bawaannya,gue bisa simpulin bahwa banyak yang ke sini buat liburan juga. Ada yang naik gunung juga. Macem-macem lah

Untuk mencapai ke home stay kami memilih menggunakan jasa Grab karena tempat penyewaan motor di depan Stasiun Lempuyangan masih agak tinggi. Rata-rata harganya Rp. 70.000. Padahal masih ada tempat penyewaan motor lain yang ngasih harga Rp. 50.000/hari. Seperti yang gue dapet hari itu juga

Biaya Grab ke home stay ngabisin tarif Rp. 12.000. Tapi kita jangan naik dari depan Stasiun. Kita mesti keluar dulu dari situ. Kalau dari pintu keluar, belok ke kanan sampai ketemu pertigaan. Tunggu di situ aja

Sepanjang perjalanan ke home stay itu gue ngelewatin Jalan Sayidan. Nama jalan ini familiar banget sama gue soalnya ada lagu Shaggy Dog yang nyeritain tentang Jalan Sayidan itu. Terus gue juga ngelewatin pusat gudeg gitu. Gue gak inget sih nama-nama jalannya. Tapi pas ngelewatin lampu merah yang ada bentengnya itu cukup bisa gue inget.  Dan di banyak sudut kota ada banyak gambar-gambar dari seniman Jogja. Gue inget kalau di salah satu sudut kota Jogja ada gambar Ibu Susi. Tapi gue gak tau di mana dan gak tau nama daerahnya. Gue gak sempet liat graffiti itu

Home Stay

Home stay yang gue dapet terletak di Jl Gedongkiwo. Deket banget dari perempatan Jl Bantul. Namanya Deep Purple Home Stay. Gue dapet rekomendasi nginep di sini dari situs yogyes.com. Alasan utama nginep di sini karena harganya yang murah. Semalam cuma Rp. 50.000 dengan fasilitas wifi, TV, dan AC. Lumayan murah kan. Apalagi gue nginep berdua jadinya seorang kena Rp.25.000 untuk satu malam. Kelebihan lainnya home stay ini adalah banyaknya kamera CCTV yang kita bisa lihat juga di layar yang ada di rumah itu. Dan halamannya luas. Homey banget lah. Kalau yang mau backpacker hemat ke Jogja gue bisa saranin buat nginep di sini

Bertemu JRX

Secara kebetulan di Jogja akan ada penampilan akustik dari JRX, drummer band Superman Is Dead. Gue yang emang ngefans dia langsung aja cabut naek Grab buat ke venue di Oxen Free Bar yang lokasinya deket banget dari Jalan Malioboro. 

Untuk masuk ke dalam area venue gue kena charge sebesar Rp.35.000 yang tiketnya bisa dituker sama minuman. Pilihannya bir atau soft drink. Gue kan gak minum yah, jadinya gue pilih soft drink. Merk-nya Fayrouz

Penampilan JRX malam itu diwarnai banyak canda tawa, alkohol, asap rokok, dan nada-nada fals. Gue harus bilang kalau untuk seorang solo performer ternyata JRX itu gak bagus-bagus amat. Pas gitarnya fals gak dia setem, missed chord, missed tempo dan senar putus menjadi bumbu di malam itu. Mungkin memang bukan buat cari kesempurnaan yah. Lebih ke buat bersenang-senang. Gue juga seneng karena lagu yang dibawain banyak banget dan secara jarak gue bisa berada dalam jarak yang dekat. Cuma satu yang agak gue sayangkan yaitu gak sempet foto bareng. Ada satu momen pas penonton ngambil alih panggung dan JRX nonton di samping. Pas gue mau foto bareng sama dia,eh dia nepis gitu. Emang waktunya gak tepat sih karena JRX mau naik panggung lagi. Tapi tetep aja nyesek. Huhuhu.. Secara gue ngefans Superman Is Dead sejak 2003. Jam 12 malem gue balik ke home stay naik Grab dengan perasaan yang sedikit patah.



HARI 2
Berkat OLX, gue menemukan jasa sewa motor yang lebih murah. Seharga Rp 50.000 / hari dan dia bersedia untuk antar-jemput. Saat itu gue kena charge sebesar Rp 20.000. Motor yang gue sewa adalah motor Honda Beat tahun 2017. Masih mulus. Lengkap dengan kunci ganda dan dua buah jas hujan. Prosesnya juga cepet. Recommended banget

Jasa sewa motor itu nyamperin ke home stay sekitar jam 07.30. Kami langsung checkout dan pamit dari home stay. Tapi karena gue gak berhasil ketemu Miss Entah Siapa Namanya, akhirnya kami pergi dengan meletakkan kunci kamar dan secarik kertas berisi pesan dan ucapan terima kasih. Dengan menggunakan penutup hidung, ransel, dan kacamata kami bergegas meninggalkan home stay untuk eksplorasi. Destinasi pertama adalah daerah Mangunan.



Mangunan
Untuk mencapai Mangunan gak dibutuhkan kesulitan karena marka jalan dan petunjuk arah amat banyak dijumpai di setiap jalan. Yang agak sulit mungkin keberadaan SPBU resmi. Untuk mengantisipasi kekurangan bensin saat eksplorasi itu kami memutuskan mengisi di SPBU yang ada kami lewati. 

Perjalanan dilanjutkan dan kami sampai ke tempat wisata pertama yaitu Kebun Buah Mangunan. Sebenarnya gue udah bikin itinerary perjalanan namun ketinggalan di Tangerang. Gue lupa apakah Kebun Buah ini emang masuk dalam list atau enggak. Berhubung udah sampai sana yaudah kami coba nikmati aja. 

Tempat wisata ini sebetulnya gak istimewa-istimewa banget. Biaya masuk Rp.5.000 dan di atas kita akan disuguhi dengan pemandangan alam perbukitan berwarna hijau dan ada sungai berwarna kecoklatan di bawahnya. Di tempat ini terdapat juga spot-spot untuk berfoto dengan view pemandangan yang gue maksud.

Spot pertama yang kami nikmati adalah semacam alas yang berada di pohon dan alas itu terdiri dari 2 lantai. Cukup lama gue di situ. Untuk menikmati dan menemani Ahmad yang lagi belajar shooting. Tadinya cukup bikin bete karena gak ada yang motoin. Tapi rasa bete gue jadi sedikit berkurang karena gue bawa guitalele. Buat ngusir rasa bete itu gue coba cari inspirasi buat bikin lagu. Dan dapet. Tinggal diselesaiin aja.



Puas di satu spot, kami pindah ke arah bawah. Dari situlah pemandangan bukit hijau dengan sungai kecoklatan  tersaji. Tekstur bebatuan juga bikin pemandangan jadi gak terlalu monoton. Ada banyak pondokan buat yang mau neduh atau mau nikmatin makanan yang dibawa atau mau beli di situ. Warung yang ada di situ gak ngejual dengan harga tinggi. Dengan uang Rp. 15.000 kita udah bisa nikmatin menu makanan dan minuman. Cukup murah



Saat kami nikmatin makan di salah satu warung yang ada di situ, ada wisatawan yang bertanya kepada kami tentang asal kami. Ternyata mereka juga dari Tangerang. Sempet ngajak bareng tapi kami udah punya agenda sendiri. Paling nanti ketemu lagi di tempat wisata lain, pikir gue

Watu Mabur
Mungkin gue lagi sial yah pas ke sini.

Watu Mabur lagi renovasi. Banyak banget  tempat yang emang rusak. Dan beberapa pekerja setempat lagi bikin sesuatu yang kayaknya sih itu bakal jadi landmark gitu. Buat spot foto. Tapi spot foto lainnya masih bisa dipake. Ada sekitar 5 spot yang bisa dipake.





Di sini gue cuma diminta buat bayar parkir yang mana si Bapak penjaganya juga yang lagi kerja di situ. Oh iya, karena di sana lagi renovasi jadinya kami emang gak dimintain bayaran. Gak ada tiket. Gak ada loket. Gak ada yang jaga. Bener-bener bukan dalam kondisi terbaik. Eh tapi ke sana juga gak bisa ngapa-ngapain sih. Cuma foto-foto doang. View-nya mah gak beda jauh sama dari Kebun Buah Mangunan. Satu-satunya alasan terbaik buat ke sini sih buat liat sunrise. Sesuatu yang gue gak dapet waktu itu

Watu Layang
Masih di sekitar Mangunan. Kali ini kami mencoba untuk mengunjungi tempat yang namanya Watu Layang. Pas mau masuk kami sempet ragu dan bertanya-tanya sama Bapa’e penjaga yang udah siap-siap ngerobek tiket buat kami.

Gue nanya apakah di sana bayar parkir lagi dan ternyata enggak. Masuknya juga murah. Cuma Rp.3.000 buat dua orang. Mungkin yang diitung motor doang kali yah. Jadinya gue sepakat buat masuk dan ngaso karena udah mau adzan Dzuhur

Apa yang gue dapat di sana ternyata emang gak istimewa banget. Ada beberapa tempat yang kurang lebih sama dengan apa yang gue liat di beberapa tempat sebelumnya yaitu spot foto. Gue gak eksplor terlalu banyak dan memilih untuk ngaso di tempat buat foto dengan view yang juga kurang lebih mirip dengan dua tempat sebelumnya. Bedanya kali ini gue ngerasa lebih rileks. Terbukti dengan cara gue dan Ahmad ngabisin waktu di situ. Kami lebih banyak duduk dan cerita-cerita sambil nge-review apa yang udah dilalui sambil mikir mau ke mana lagi setelah ini.




Oh iya di tempat ini juga gue liat ada Bapak-bapak setempat yang lagi mempercantik objek wisata itu. Bapak itu lagi masang semacam geladak dari potongan papan. Belum selesai dan masih butuh waktu lama. Gue menikmati pemandangan ini dari atas.



Sukorame
Objek wisata berikutnya yang kami kunjungi adalah Sukorame yang letaknya gak terlalu jauh dari lokasi sebelumnya. Alasan kami mengunjungi tempat ini adalah view yang agak berbeda dengan beberapa tempat sebelumnya yang kami kunjungi.

Hamparan luas hijaunya sawah dan kita bisa berjalan pada jalanan yang terbuat dari bambu itu membuat suasana terasa lebih segar dan memanjakan mata. Untuk masuk ke dalam situ kita hanya perlu membayar uang sebesar Rp 2.000 di loket dan jumlah yang sama untuk parkir motor. Di situ kita bisa bebas mau berlama-lama di area itu. Tempat ini asik buat foto prewed btw. Dan mungkin buat aktivitas yang dilakukan Tejo terhadap Surti seperti yang diceritakan oleh group musik Jamrud.



Menuju Wediombo
Daerah pantai memang masuk ke dalam list kami. Dalam list itu kami harus mengunjungi pantai dan menunggu sunset. Dari sekian banyak pantai yang ada di Jogja, pilihan kami adalah Pantai Wediombo atau juga Pulau Jungwook

Kedua pantai ini memang terletak sangat jauh dari tempat kami berada sebelumnya yaitu di Mangunan. Sekitar 58 km. Kalau kita lihat ke peta, daerah pantai terdekat sebetulnya bisa kita tempuh dalam waktu yang relatif lebih singkat jika kita memilih Pantai Parang Tritis sebagai pantai yang ingin kita kunjungi. Asli jauh banget. Silakan googling sendiri dan lihat berapa jarak tempuh dari Mangunan ke Wediombo. Dan sialnya kami harus menempuh jalur pulang yang juga jauh. Menuju Jogja. Sekitar 75 km. Penderitaan itu mesti ditanggung sendiri oleh gue dalam hal membawa motor karena Ahmad gak bisa bawa motor. Sempurna.



Pantai Wediombo
Untuk masuk ke wilayah ini kita perlu membayar Rp4.500 per-orang. Bayar lainnya adalah di area parkir sebesar Rp2.000 untuk satu motor sampai jam 6 sore. Biaya sebesar Rp5.000 dikenakan untuk satu motor bagi wisatawan yang ingin menginap di sini. Di Wediombo ada satu penginapan yang agak serius. Buat yang backpackeran sih bisa tidur di warung-warung yang ada di sana atau camping. Sempet terpikir buat camping di sana mengingat perjalanan yang amat panjang. Lagian gue ngerasa khawatir kalau gak istirahat nanti bakal nge-drop buat besok dan lusanya. Mangunan-Wediombo aja udah jauh banget apalagi rute balik Wediombo-Jogja

Suara debur ombak yang terdengar dari jalanan udah bikin gue jadi antusias. Apalagi pas samar-samar garis laut itu mulai keliatan. Wah udah gak sabar banget. Begitupun pas gue lihat langsung. Senyum mulai mengembang dan berkali-kali gue nanya ke Ahmad apakah ini memang sepadan dengan apa yang udah kita tempuh. Menurutnya semua itu sepadan.Gue sendiri masih bingung mau ngasih jawaban yang mana. Udah terlalu capek dan gue gak punya pantai lain buat dijadiin bahan perbandingan. Gue lebih memilih buat cari tempat buat naruh semua barang yang kami bawa dan mulai bermain-main. Bermain dengan pasir. Dengan air. Dengan buih. Dan dengan sepotong senja yang sangat ingin kukirimkan untuk pacarku.




Pulang ke Jogja
Puas menikmati suasana di Pantai Wediombo,kami memilih untuk kembali ke Jogja meskipun awalnya sepakat untuk langsung ke Magelang buat nyari sunrise di Borobudur. Sebuah keputusan yang konyol karena itu jauhnya naudzubillah. Pulang ke Jogja adalah sebuah keputusan yang paling waras.

Tapi sewarasnya perjalanan pulang itupun gak begitu waras karena jalanan yang kami tempuh betul-betul gelap karena minimnya penerangan yang ada. Sebelah kanan dan kiri kita dihiasi dengan tanaman-tanaman dan semak belukar serta hutan yang bisa aja bikin suasana menjadi mencekam. Takut terjadi apa-apa. Gak lucu kan kalau tiba-tiba kita lihat Mbak K atau Mr. P (bukan Penis yah guys) yang iseng gangguin kami. Idih…Amit-amit deh.

Makanya kami seneng banget kalau ada kendaraan di depan kami. Seengaknya dari situ bisa kelihatan kalau ternyata ada orang lain selain kami. Lo bisa bayangin gak sih kalau tiba-tiba hal yang buruk terjadi? Bisa aja kan tiba-tiba ban bocor atau mesin motor kenapa-napa. Gila sih. Gak kebayang aja karena di sana memang sepi.  Saran gue kalau mau naek motor mesti well prepare deh.

Bukit Bintang
Setelah lewat area pegunungan kami sedikit lega karena udah ketemu jalan raya yang cukup besar dengan arus kendaraan yang juga ramai. Satu tempat yang gak sengaja kelewat adalah daerah Bukit Bintang

Tadinya kami cuma mau ngeliat aja dari jembatan pinggir jalan yang banyak orang-orang kumpul di situ. Tapi kata mas parkir kami diminta buat pindah ke area parkir yang udah disediain. Dari situ kita bebas buat ke mana aja. Pilihan jatuh ke kedai tongkrongan yang ada di deket situ.

View dari kedai itu emang ajib. Kita disuguhin sama pemandangan kota dengan banyak cahaya lampu. Cukup romantis. Gue gak heran pas gue ke sana ada beberapa pasangan yang emang lagi makan malam sambil menikmati pemandangan yang ajib.



Dari tempat itu juga gue baru sadar kalau di sekeliling tempat kami makan itu ada banyak kedai dan bahkan resto yang setype. Ada rooftop dengan pemandangan alam dan jalanan kota yang dilengkapi  cahaya. Mungkin makanannya aja yang beda. Gue sama Ahmad cuma pesen teh tawar dan roti bakar. Jujur, menunya biasa aja

Home Stay
Kami dapat home stay bernama Selo yang berada di Sosrowijayan. Gak gitu jauh dari home stay pertama. Untuk proses booking dilakukan oleh Ahmad sambil membantu menavigasi arah di sepanjang perjalanan. Harga untuk satu kamar sebesar Rp80.000. Gue langsung iyain aja karena emang udah pengen banget istirahat.

Sesampainya di sana, apa yang kami dapat memang gak memuaskan. Cahaya yang kurang terang dan kondisi home stay seperti yang kurang perawatan. Memang sih room lebih besar. Tapi itu bukan jaminan buat sebuah kenyamanan. Gue sih gak ngerekomendasiin di sini. Si Ahmad aja sampe bilang kalau home stay Deep Purple jauh lebih nyaman dibanding di sini. Satu-satunya yang agak lumayan adalah adanya karambol (yang udah gak licin) buat ngisi waktu luang pas hujan turun dari tengah malam sampai jam 8 pagi. 

HARI 3

Kantor Pos dan Deep Purple
Kami pamit dan hendak pergi ke Candi Borobudur di hari ini. Tapi sebelum menuju ke sana ada satu tempat pertama yang harus dikunjungi. Tempat itu gak lain adalah Deep Purple home stay.

Gue juga sempet mampir ke Kantor Pos yang ada di deket home stay Selo. Kunjungan gue itu buat beli perangko yang harganya di atas Rp3000. Perangko ini gue beli buat kirim-kirim postcard ke luar negeri lewat postcrossing.com. Mereka jual perangko harga Rp10.000 dan langsung gue beli 5 buah plus perangko Rp3000 sebanyak 5 buah. Buat stok ngirim surat atau postcard. Gue beli karena motifnya beda dengan yang gue punya di rumah.



Kembali ke Deep Purple sebetulnya bikin gue malu karena sebelumnya gue udah bikin kertas perpisahan gitu. Sebelum ke sana gue udah SMS Miss Entah Siapa Namanya tapi gak dibales. Akhirnya nekad aja ke sana dengan harapan ada kamar kosong.

Sampai di sana gue langsung pencet bel dan interphone gitu. Dia sempet nanya ‘ini siapa’ pas gue bilang kalau gue udah SMS pagi harinya. Terus gue bilang dong gue siapa (Power Rangers). Eh si Miss bilang “Oalah…. Semalem mimpi dimana?” Abis itu gue nunggu si Miss dan dapet kamar no 4 yang berada di dalem. Kamar kali ini agak lebih sempit karena ada sekat tapi juga jadi lebih luas karena ada lebih banyak ruang yang bisa dipake. Gue dan Ahmad langsung taro tas dan ambil apa-apa aja yang bakal dibawa buat eksplorasi

Kalibiru
Perjalanan ke Kalibiru agak-agak ekstrem karena medannya yang bebelok dan menanjak. Dan agak masuk-masuk kampung orang gitu. Satu tempat yang paling asik buat gue justru sebelum ke Kalibiru. Gue liat hamparan sawah hijau membentang. Dan sawahnya jauh lebih tumbuh dibanding sewaktu di Sukorame. Kami sempet ambil gambar dan video di sini sebelum lanjut perjalanan ke Kalibiru.



Sampai di Kalibiru gue mesti bayar parkir Rp 3.000 dan biaya masuk ke dalam Kalibiru sebesar Rp 5.000. Di dalam sana banyak spot foto yang udah dibikin sama warga setempat. Ada spot oval, bunga, love, dll dengan background yang kurang lebih sama.



Pas nyampe sini sih gue kurang interest karena yang ditawarin sama mereka cuma spot-spot foto itu. Bukan cuma monoton tapi kita juga mesti keluar biaya lagi buat foto di spot-spot itu. Rata-rata ditarif Rp10.000 dan kita hanya dikasih waktu 3 menit. Kalau pakai jasa fotografer yang ada di situ maka akan ada biaya lagi dan nanti kita dikasih hardcopy atau softcopy-nya. Lupa gue.



Jadi pas di Kalibiru gue cuma keliling buat eksplor dan nyari apa uniknya tempat ini selain tempat buat foto. Yang menarik adalah view yang agak berbeda dengan yang kami lewati di hari sebelumnya

Dalam satu kali pandangan kita bisa lihat hamparan hijau pepohonan yang berada di bawah kita dan dilengkkapi dengan danau yang gue gak tau namanya. Di ujungnya kita bisa lihat garis pantai dan laut. Duh..! Eksotis banget. Ada musik lagu jazz/bossa dalam bahasa Jawa yang diputer di sana. Bikin gue bersyukur atas semua yang gue alami dalam hidup selama ini.

Nyasar
Navigasi pada Google Maps agak ngaco. ALih-alih mau nganterin kami ke jalan menuju Magelang, kami malah dibikin nyasar dengan masuk ke hutan dengan jalan kecil dan minim penghuni di sepanjang jalan. Celakanya adalah rute yang harus kami lalui saat itu terpotong oleh para petani yang sedang memanen padi dan memakai jalan yang akan kami lalui. Betul-betul gak bisa dilalui. Dan membuat kami mesti balik lagi buat kembali ke jalan yang benar.



Kami berhasil keluar setelah sempet bingung dan sedikit panik karena takut kehabisan waktu buat ke Magelang dan cerita horror tentang dibikin tersesat oleh jin terus kebayang. Sampai akhirnya ketemu warga yang kebetulan lagi ada di luar dan kami berhasil ke jalan raya setelah bertanya padanya. Di situ kami ngerasa sedikit lega.

Kesimpulan gue adalah; mending manfaatin GPS alias Gunakan Penduduk Setempat

Candi Borobudur
Menempuh perjalanan yang cukup panjang nan melelahkan, kami sampai  juga di Magelang. Motor kami parkir di pertigaan ke arah Candi. Bayar Rp 5.000 dan dijagain sama banyak orang. Gue yakin area parkir kayak gini banyak terdapat di sekitar kawasan Candi. Tapi gue jadi penasaran kira-kira area parkir resminya di mana yah?

Untuk masuk ke Candi Borobudur gue mesti keluar duit Rp 40.000.Tarif yang berlaku untuk orang dewasa wisatawan domestik. Tapi karena lagi ada diskon (gue lupa diskon apa) jadinya gue cuma perlu bayar Rp 32.000. Lumayan bisa hemat Rp 8.000.

Satu hal yang gue gak suka adalah tiketnya yang cuma struk thermal berisi barcode yang nantinya di-scan sama petugas di sana. Gak memorable njir….!!! Gue gak ngerti kenapa pemerintah setempat, pengelola, atau bahkan dinas pariwisata gak berpikir untuk bikin tiket yang memorable. Why??



Nyadar gak kita tuh sering liat di medsos orang-orang nge-posting foto tiket XXI? Atau foto tiket konser? Atau foto apapun yang bikin mereka merasa cukup bangga untuk nge-share di medsos mereka. Dan tiket-tiket yang gue sebutin tadi bakal memorable dan bisa kita simpen buat kenang-kenangan. Ini enggak lho. Di kawasan wisata bersejarah terkenal dan diakui oleh UNESCO ini malah cuma dikasih struk bukti pembayaran. Gak ada bedanya sama tiket parkir di mall-mall. 

Mahakarya
Legenda yang kita denger tentang proses pembuatan Candi Borobodur emang bikin kita bakal takjub. Gimana mungkin di era itu bangunan kayak gini bisa jadi. Sama kayak Piramida di Mesir. Untuk beberapa saat gue terdiam. Berpikir. 

Relief di seputar candi amat menarik buat dilihat. Gue gak tau perlu waktu berapa lama buat ngeliatin semua relief itu. Karena memang banyak dan tersebar di hampir semua tingkat. Mungkin perlu waktu seharian kali yah buat ngeliatin semua relief itu

Gue beruntung ke sana pas weekday sehingga gak banyak orang yang berkunjung. Jadinya kalau mau foto-foto bisa lebih bersih karena gak ada distorsi orang-orang. Ada beberapa pengunjung asing yang dipandu sama guidemereka. Masyarakat kita sama bule tuh sangat apresiatif banget yah. Karena beberapa kali gue liat ada Ibu-ibu yang minta foto bareng sama bule. Gak ngerti sih buat apaan. Yang difotoin mah seneng-seneng aja. Dan gue denger ada Ibu-ibu yang bilang kalo si bule itu ganteng. Pas diterjemahin sama si guide,si bule itu ketawa sambil bilang thank you.

Tapi bener sih. Pemandangan dari atas itu cukup bikin plong dengan adanya gunung yang bisa kita liat di kejauhan. Gitar gue disita sama petugas di sana. Padahal dengan kondisi itu bakal asik banget buat bikin lagu.





Cindera Mata
Keluar dari Museum Borobudur yang ada di deket pintu keluar, ada banyak pedagang yang ngejual banyak banget pernak-pernik seputar Borobudur. Ada kaos, gantungan kunci, asbak, dll, Gue sama Ahmad udah kayak seleb aja. Diserbu sama para pedagang itu. Gue kena dong.

Awalnya gue pikir harga Rp100.000 untuk 5 buah kaos kan murah banget yah. Gue tawar jadi 6 gitu. Eh ibunya mau lho. Yaudah gue pilih dong yah. Tanpa gue ketahui kalau beberapa langkah dari pintu keluar itu ada banyak yang jual kaos buat oleh-oleh dengan harga yang sama tapi dapet 7 kaos. Kan sial yah. Harusnya dapet 7 eh malah dapet 6

Kembali Nyasar
Perjalanan pulang dari Borobudur ke Jogja sempat diwarnai dengan kejadian yang sama dengan ketika berangkat. Nyasar. Dinyasarin sama Google Maps. Antisipasi kali ini lebih sigap. Sebelum lebih jauh nyasar gue udah inisiatif nanya ke warga setempat. Dan cara itu masih lebih efektif.

Malam di Jogja

Karena sudah bertekad untuk sampai di home stay pas Maghrib/Isya, maka perjalanan agak dikebut. Maksudnya biar bisa nikmatin suasana malam di Jogja dan bisa istirahat agak lamaan. Keinginan itu tercapai karena kami sampai di home stay pas Maghrib

Lapar. Ingin makan yang agak nampol. Karena selama ini kami makan sebatas yang murah meriah. Makan di tempat wisata yang gak lebih dari Rp 15.000. Waktu ke Kalibiru aja cuma makan sop ayam yang seharga Rp 8.000. Kali ini mau coba makan yang agak nampol nih. Maka keluarlah kami buat cari makan. Nemu pecel ayam yang kayaknya enak. Enak buat makan, enak makanannya dan enak buat parkir motor. Makannya lesehan gitu dan posisinya gak jauh dari home stay.

Kenyang makan, kami balik ke home stay. Berhubung ada yang harus gue kerjain, maka gue perlu banget laptop/PC buat ngetik. Berangkatlah gue ke warnet yang ada di deket home stay. Walaupun dibilang deket tapi tetep aja mesti keluar motor. Berkat arahan dari Miss, gue bisa ke warnet terdekat dengan fasilitas yang yahud berupa tersedianya banyak file film. Dari seri anime sampai film terbaru yang mereka dapatkan. Bahkan di tiap room ada list film-film ter-update yang udah mereka dapetin. Tau gitu gue bawa HDD external deh yah. Pengen copy seri One Piece dan film-film lainnya.



Malioboro Malam Hari
Gue dan Ahmad kembali mengitari daerah kota Jogja di malam hari. Kami ngelewatin Keraton, Alun-Alun, dan Jalan Malioboro. Rame banget di Malioboro. Gue bahkan pengen banget buat menyusuri jalan itu. Dari ujung ke ujung. Keinginan yang akhirnya baru bisa terwujud setelah gue nganter si Ahmad balik ke home stay dan gue naek Grab ke Malioboro

Dengan menaiki Grab gue turun di Jalan Malioboro dan mulai untuk menyusuri jalan ini. Gue jalan sendiri. Ngeliat apa-apa yang bisa diliat. Ngeliatin orang-orang, seniman, pedagang, dan orang-orang yang lalu lalang di sana

Gue pernah baca di salah satu thread di Kaskus kalau makanan yang dijual sama pedagang di Malioboro itu agak mahal dan gak disarankan makan di tempat yang gak ada harganya. Maksudnya biar gak kaget sih. Karena ada kekhawatiran harga yang dipatok maen nembak aja.

Mungkin hal itu ada benarnya karena banyak tempat makan pinggir jalan yang memasang banner dengan menu dan harga yang bisa kita lihat dari jauh. Harganya masih masuk akal kok. Tapi gue gak tertarik buat makan di situ. Apalagi kalau sendirian. Duh

Rasa sendiri itu gue coba usir dengan berjalan lebih jauh. Melewati benteng dan pasar sampai tiba di ujung jalan. Ada seniman yang lagi menghibur. Gue lupa namanya apa. Ada di buku catetan gue. Bakal gue update segera. Nah seniman ini maenin musik pake kayak instrumen dari bambu gitu. Gue gak tau namanya. Tapi gue yakin lo pernah liat. Seniman ini berkelompok dan ada penarik perhatian berupa seorang penari yang gak sungkan buat ngajak orang-orang buat ikutan bersenang-senang. Untuk yang mau mengapresiasi penampilan mereka, kita bisa kasih uang atau apapun ke deposit box yang disediain sama mereka.



Gak cuma kesenian daerah. Di Nol Kilometer (0 km) alias di ujung jalan Malioboro ada sekelompok seniman yang maenin lagu-lagu pop lengkap dengan gitar, bass, cajon, dan mic. Gue tertarik dengan cara mereka buat bikin sound kayak gitu. Karena kepo gue nyoba buat lebih dekat ke mereka. Ngeliatin alat apa aja yang dibutuhin dan gimana urusan dayanya. Gue mikir kalau cara kayak gini siapa tau bisa diaplikasikan buat acara Cielers suatu saat kelak. Bayangin misalnya pas Car Free Day gue sama anak-anak bikin akustikan lagu-lagu L’Arc-en-Ciel kan kayaknya seru yah. Diliatin orang-orang juga, Biar sekalian memeperkenalkan L’Arc-en-Ciel ke masyarakat.



Gue balik lagi ke home stay naek Grab. Ngelewatin dingin malam dan rasa sepi. Mau nelpon seseorang eh dia lagi jalan sama orang yang suka sama dia. Seketika lagu Dewa berjudul Kosong mengalun perlahan.

"Di dalam keramaian aku masih merasa sepi
Sendiri memikirkan kamu..."

HARI 4
Kami bangun pagi dan langsung cari makan. Nemu Sop Ayam Pak Min Klaten. Murah. Yang penting kenyang dulu aja. Agenda kami di hari terakhir ini adalah buat ke Taman Sari, Keraton, dan belanja oleh-oleh di Malioboro. 

Taman Sari
Objek wisata Taman Sari dipilih karena  dekat. Saking dekatnya kami bahkan sampai sebelum gerbangnya dibuka. Udah ada beberapa wisatawan di sana. Ada yang pasangan dan gerombolan. Kayaknya yang sendiri gak ada deh. Kebanyakan sih berpasangan. Kayak gue sama Ahmad. Tunggu, agak aneh nyebut kami pasangan. Duo lebih enak didenger. Takut salah persepsi aja.



Tiket masuk tergolong murah. Cuma Rp 5.000 aja. Untuk yang bawa kamera akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 3.000. Sedangkan untuk parkir kena biaya Rp 3.000. Lokasi parkir berada gak jauh dari gerbang masuk

Sesampainya di dalam gue gak langsung menuju ke kolam pemandian. Lokasi pertama yang gue tuju adalah semacam gapura dan masih kosong. Gak ada siapa-siapa di sana. Orang-orang langsung menuju ke kolam. Dari tempat gue berdiri gue bisa liat sekeliling area Taman Sari dan orang-orang yang hendak ke pemandian. Karena penasaran, gue ke sana deh.



Gue sih gak begitu tertarik yah dengan lokasi itu. Gak ngerti kenapa. Gue lebih tertarik sama semacam guide yang lagi bercerita tentang masa lalu tempat ini. Belajar sejarah dikit.



Sampai akhirnya gue keluar dari pintu samping karena kita gak bisa kembali ke tempat sebelumnya. Jadi kalau lo udah lewatin lokasi B dan ingin kembali ke lokasi A, lo gak bisa nyusurin jalan yang tadi alias verboden. Kita mesti keluar dan masuk lagi dari depan. Tapi tenang aja. Di situ gak dikenakan lagi biaya tambahan

Sebenernya ada satu lagi tempat wisata yang terpisah dari lokasi yang gue kunjungi. Gue gak ke situ karena yah seperti yang tadi gue bilang. Gue gak gitu tertarik. Mau foto-foto juga gak bisa karena Ahmad sibuk buat nge-shoot. Gua memilih buat ngopi di parkiran motor sambil nonton anime

Dibuat Menunggu
Nah ini yang gue agak kesel.

Gue mesti nunggu si Ahmad selama 1 jam. Kami kan janjian jam 10.00 udah harus cabut lagi buat nguber ke Keraton. Eh ternyata gak bisa karena si Ahmad lagi asyik bercengkerama sama dua orang bule cewek yang ketemu sama dia. Gue gak dikenalin lagi

Saking keselnya tadi mau gue tinggal tuh. Gue tinggal aja sendirian di situ dan balik lagi satu jam kemudian. Gak bisa apa-apa dia. Orang handphone dan kunci kamar home stay ada di gue. Tapi,,, karena gue anak sholeh maka hal itu gak gue lakuin. Gue setia. Nungguin dia. Dihantam bosan. 

FYI, rekor gue nungguin orang adalah 3 jam 18 menit. Mati gue dihantam waktu. 

*Dear my girl, see… sama temen aja aku setia apalagi sama pasangan :p*

Malioboro
Gagal ke Keraton bikin perjalanan ke Malioboro agak dikebut. Sebisa mungkin gue balikin mood bete gue biar bisa ngelanjutin sisa hari. Akhirnya balik lagi sih mood. Malioboro dilalui dengan sedikit tergesa karena kami mesti checkout dan pergi ke stasiun buat balikin motor dan nunggu kereta.

Yang gue beli di sini cuma gantungan kunci, daster buat nyokap, dan beberapa bakpia sama brem buat ke tetangga. Buat gue sendiri sih cuma beli kaos dashiki kalau gak salah. Apa sih namanya? Yang kayak kaos barong gitu. Bahannya enak dan emang cocok banget buat reggae-an. Tinggal kasih ikat kepala aja. Agak-agak hippies gitu

Tapi yah karena terburu-buru itu gue jadi gak sempet cari oleh-oleh buat cewek gue. Awal tahun dia ke Jogja dan ngasih gue oleh-oleh kaos. Ada sih gantungan kunci yang agak lucu gitu. Nanti gue kasih ke dia ah. Sengaja gue keep biar gak diambil sama ponakan-ponakan gue

Puas belanja kami balik lagi ke home stay dengan sedikit tergesa-gesa. Belum makan, belum mandi, belum packing, dan belum sholat. Sementara waktu terus berlalu. Kami harus buru-buru checkout karena batas checkout jam satu siang.

Untungnya lokasi ke home stay gak jauh dan gak kena macet (gak tau juga sih di Jogja ada macet/gak). Kami sampai di home stay jam  setengah 1 siang. Ahmad packing sedangkan gue milih buat mandi sekaligus wudhu buat sholat Dzuhur dulu. Selesai semua aktivitas kami langsung pamit ke Miss dan bergegas ke Stasiun Lempuyangan.

Pulang
Sadar akan kondisi perut yang lapar maka kami memutuskan untuk makan siang seiring perjalanan ke Stasiun Lempuyangan. Orang dari penyewaan motor udah ngontak dari sebelumnya dan sepakat buat ketemuan di salah satu sudut area Stasiun Lempuyangan yang gak ada preman ataupun polisi. Setelah ketemu di pertigaan yang ada di dekat Stasiun itu kami diantar oleh orang dari penyewaan buat ke depan stasiun. Kalau jalan kaki lumayan soalnya. 

Gue sempet beli bolu kukus Tugu Jogja yang ada di dalam stasiun. Kuenya enak. Satu box isi 10 gitu. Packaging-nya bagus. Harga satu box Rp 35.000. Ada banyak rasa. Gue milih rasa coklat. Ngeliat gue beli bolu kukus gini eh si Ahmad ikut beli juga. Dengan jumlah dan rasa yang juga sama.

Kedinginan di Kereta
Perjalanan pulang ke Jakarta dipenuhi dengan drama ketika tempat duduk kami terasa dingin akibat AC yang terlalu dingin. Emang suhunya yang terlalu rendah atau arah anginnya yang secara telak ngena ke kami. Awalnya sih masih bisa bertahan sampai akhirnya penumpang di depan gue nelpon ke orang yang lagi in charge gitu. Dia ngomong pake bahasa Jawa gitu. Gue bisa ngerti sedikit-sedikit.

Cara itu berhasil karena beberapa menit kemudian ada petugas yang langsung sigap dan bikin AC jadi gak terlalu dingin. Udah agak mendingan saat itu.Tapi ternyata penumpang lain juga ada yang complain karena mereka kepanasan. Nah ini ada lagi nih. Drama banget. Tuh AC suhunya didinginin lagi. Makin kedinginan kan kita. Terus dicoba ditengahi kan yah sama petugas yang ada. Dia nanya siapa yang kedinginan. Gue dan 3 orang lainnya ngacung. Kami berempat duduk di kursi 1A,1B,2C,2D. Sampai akhirnya gue agak teriak “Yang ngerasa kepanasan, sini tukeran aja sama saya”. Tapi gak ada tuh yang mau tukeran.

Gue tuh gak kuat dingin kan yah. Jadi gue keluar tuh dari gerbong dan berdiri di bordes. Meskipun berdiri tapi gue ngerasa sedikit lebih hangat. Daripada kesiksa gara-gara dingin lebih baik kesiksa gara-gara berdiri. Hal itu gue lakuin berkali-kali dengan frekuensi bisa 20 menit bordes, 10 menit gerbong. Kayak gitu aja terus sampai Stasiun Jatinegara. Dari situ gue stay di gerbong karena dua penumpang yang sebangku sama gue turun di stasiun itu. Lagian udah deket juga pikir gue. Kereta sampe di Stasiun Senen sekitar jam 00.40

Menuju Tangerang
Gue sempet nanya via Twitter buat nanyain KRL jurusan Stasiun Duri. Ternyata udah gak ada dan baru ada lagi subuh. Tadinya gue mau nginep aja di situ. Terus subuh-subuh gue naek KRL ke Duri buat lanjut ke Tangerang. Ahmad lebih memilih naik Grab Car. Dia ngajak gue buat ikut dia sampai mana gitu terus nanti gue nyambung Grab Bike dari tempat berpisah itu. Karena dia ajakin yaudah gue ikut. Tapi kalau dia ngajak patungan sih gue lebih milih nginep di stasiun. Tarif Grab Car ke Tangerang itu kena sekitar Rp125.000. Selisihnya cukup jauh kalau dibandingin naik KRL

Perpisahan terjadi di deket perumahan Islamic. Mobil lanjut ke Perum 2, gue lanjut naik Grab Bike ke Pabuaran. Sekitar jam 2 atau setengah 3 gue nyampe ke kontrakan. Beres-beres dan bersih-bersih lanjut tidur karena dalam beberapa jam ke depan gue udah harus berangkat kerja lagi. 

Tips
Gue gak yakin sih bisa kasih tips backpacker ke Jogja ini. Karena gue baru sekali ke sana. Tapi gue emang gak mau ninggalin lo tanpa sebuah tips yang bermanfaat. Atau setidaknya informasi yang berguna.

Tips gue adalah :
1. Di Tamansari, puas-puasin eksplor tiap wilayahnya karena di sana one way. Kita gak bisa balik lagi ke tempat semula. Mesti masuk dari depan lagi.

2. New Honda Beat irit banget.Amat direkomendasikan. Dan bensin full biar gak berhenti-berhenti buat nyari bensin.

3. Di Borobudur, mending beli kaos atau souvenir lain di lapak-lapak yang emang punya tempat. Kejadian kayak gue kemaren jangan sampe lo alami. 

4. Kalau  mau pake Maps/Waze, bisa pake tentakel di handphone atau kantung anti air buat diiket di spion dan layarnya ada di dashboard/head motor. Biar kita bisa lihat sendiri. Gue aja baru kepikir buat pake ide itu di hari ke 3. Telat banget. Padahal gue bawa tuh case anti airnya. 

5. Cari partner yang asyik. Untuk dua alasan, Ahmad bukanlah partner yang asyik. Hal ini lebih ke teknis sih. Pertama, dia gak bisa bawa motor. Praktis selama di sana gue terus yang bawa. Alasan kedua adalah dia bukan boncenger yang baik karena terlalu pasif. Emang orangnya agak pendiam sih. Tapi pas di motor itu banyak banget diemnya. Kan gue sebagai driver bete yah. Bisa aja gue ngantuk. Atau bisa aja dia yang ngantuk dan gue gak tau. Ngeri aja terjadi kecelakaan gara-gara masing-masing dari kami gak ada yang tahu kalau ada yang ngantuk. Karena sebagai boncengers gue pernah ngantuk dan tertidur hingga nyaris jatuh. Drivers diajak ngomong biar gak ngantuk. Gitu maksud gw. Ahmad tuh enggak. Padahal gue udah pancing-pancing dia buat bagi cerita. Apa aja. Asmara, kerjaan, agama, dll. Semata-mata buat teman ngobrol untuk menghindari rasa bosan dan rasa ngantuk. 

Cuma 5 point aja tips dari gue. Karena gue yakin lo bisa dapet tips di blog lain. Tapi alasan gue gak kasih banyak tips supaya kalian bisa dapet kejutan atas apa yang akan alami dalam perjalanan kalian.Ingat bahwa ‘bad choices makes a great stories’. 

Kesimpulan
Udah kayak makalah aja yah ada kesimpulan.

Dari perjalanan ini gue jadi tahu bahwa masyarakat di sana sadar betul akan potensi alamnya untuk dijadikan objek wisata. Mereka membentuk forum dan mengelola bersama untuk memajukan tempat mereka. Pariwisata menjadi kata kunci untuk mereka bisa lebih mengembangkan potensinya. Karena dengan adanya tempat wisata maka akan ada lahan ekonomi baru yang bisa dikembangkan. Area parkir, lapak penjual, penyewaan jasa, dll. Bukan hanya itu. Masyarakat di sana terlihat amat serius dalam mengelola. Terlihat dari tiket parkir/tiket masuk yang dicetak custom. Jauh lebih bagus dan memorable jika dibandingkan dengan apa yang gue dapet di Borobudur. 

Peran pemerintah yang gue liat kayaknya ada pada infrastruktur dengan memasang banyak rambu-rambu lalu lintas dan petunjuk jalan yang sangat informatif dan tersebar bahkan di tempat-tempat yang gak gue sangka. Di jalanan kecil yang gue kira jalan kampung aja ada lho. Kaget gue. Rambu-rambu petunjuk akan ada masjid juga terlihat di sepanjang jalan yang gue lalui. Satu-satunya yang masih kurang adalah penerangan di jalan-jalan terutama di daerah Gunung Kidul. Gue harap sih lampu penerangan di jalan itu diperhatikan lagi biar lebih terang dan gak mencekam-mencekam banget kalau malam hari. 

Hitung-hitungan
Baiklah. Ini pertamakalinya gue nulis budget yang gue keluarin pas vakansi. Sila disimak.

UMUM
Ongkos kereta Bengawan PP : Rp 155.000
Home stay Deep Purple 2 hari : Rp. 50.000 (share cost)
Home stay Selo 1 hari : Rp 40.000 (share cost) 
 Sewa motor 3 hari + jasa antar : Rp 85.000 (share cost) 
 Bensin 3 hari : Rp 28.000 (share cost)
TOTAL : Rp 358.000

MAKAN 
 Angkringan pagi : Rp 2.000 
 Nasi kuning : Rp 5.000 
Makan siang di Mangunan : Rp 0 (dibayarin. Tapi sekitar Rp 13.000) 
 Makan sore di Wediombo (Indomie telor + teh manis) : Rp 14.000 
 Teh tawar di Bukit Bintang : Rp 4.000 
 Makan pagi/siang ke Kalibiru (sop ayam boyolali) : Rp 0 (dibayarin. Sekitar Rp 15.000 udah sama susu) 
 Makan malam di Jogja (pecel ayam + telor) Rp. 18.000 
 Makan pagi Sop Ayam Pak Min Klaten : Rp 11.000 
 Makan siang Soto daging : Rp 15.000
TOTAL : Rp 69.000

Gak termasuk makan di kereta (Pop Mie Rp 10.000 dan paket nasi Rp 23.000) dan bekal beli di Lawson Stasiun Pasar Senen (Nasi kuning Rp 30.000 buat 2 porsi)

WISATA 
 Masuk Kebun Buah Mangunan : Rp 5.000 
 Masuk Watu Layang : Rp 1.500 (share cost)
Masuk Sukorame : Rp 2.000 
 Masuk Pantai Wediombo : Rp 5.000 
 Masuk Kalibiru : Rp 5.000 
 Masuk Candi Borobudur : Rp 32.000 (lagi ada promo. Norma Rp 40.000) 
 Masuk Taman Sari : Rp 5.000 
 Masuk Watu Lembur : Rp 0 
 Parkir total : Rp 10.500 (share cost)
TOTAL : Rp 66.000

LAIN-LAIN
Total Grab : Rp 45.000
Oleh-oleh : Rp 245.000
Nonton JRX : Rp 35.000
Warnet : Rp 3.000
TOTAL : Rp 293.000

GRAND TOTAL : Rp 831.000

Anyway angka itu bisa kita kecilin lagi. Yang paling penting sih yang UMUM dan MAKAN. Pengeluaran gue yang paling gede ada di belanja oleh-oleh. Biaya LAIN-LAIN itu seharusnya sih gak ada. Jadi dengan bawa Rp 500.000 aja sebetulnya udah cukup buat backpacker-aN ke Jogja.

PENUTUP
Gue masih ingin ke Jogja. Entah sendiri. Entah bareng pasangan. Entah rame-rame.Karena pasti akan beda kesannya kalau kita bisa ke sana sama orang lain. Jalan bareng orang lain bakal bikin cerita yang lain. Gue sendiri masih ingin menjelajahi bagian Keraton dan wisata sejarah lainnya. Mungkin sekalian liat pertunjukan Papermoon. Atau pertunjukan wayang orang. Atau mungkin nonton Prambanan Jazz. Karena kalau hanya sebatas liat pemandangan mah gak usah jauh-jauh ke Jogja. Bandung juga banyak tempat asik. Tapi kalau mau ngabisin waktu dan liburan semata sih gak masalah. Apalagi kalau sama pasangan

Pertanyaannya bukan kemana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi. Itu sih.


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner